Kilah

Setiap sidang di mahkamah yang terkait dengan korupsi, biasanya ada kebohongan yang bisa dibuka. Mereka yang menilep uang rakyat, akan terbuka sendiri dengan kemampuan pengadil. Dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, banyak hal yang dulu …

Setiap sidang di mahkamah yang terkait dengan korupsi, biasanya ada kebohongan yang bisa dibuka. Mereka yang menilep uang rakyat, akan terbuka sendiri dengan kemampuan pengadil. Dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, banyak hal yang dulu tersembunyi, sekarang dimiliki daya untuk dibuka. Dengan siapa seseorang berkomunikasi, apa yang dibahas, janji apa yang dibuat, semua bisa dideteksi. Namun proses pendeteksian itu tidak boleh dilakukan sembarangan. Ada struktur formal yang bisa melakukan itu.

Tidak bisa dibayangkan jika semua orang memiliki kemampuan dan hak untuk melihat atau memantau alat komunikasi orang lain. Tentu tidak demikian. Dalam bernegara, mesti ada aturan main yang harus diikuti. Negaralah yang akan menggunakan hasil itu untuk tujuan-tujuan pencapaian kesejahteraan negara, bukan tujuan lain.

Tidak tertutup kemungkinan ada orang yang bermain untuk menggunakaan daya seperti bagi kepentingan golongannya. Menggunakan data orang hanya untuk memuaskan nafsu kelompoknya. Hal demikian di luar dari tujuan keberadaan negara.

Intinya hal yang harus dipahami ada kemampuan untuk membuka berbagai kemampuan kebohongan. Atas dasar itulah, berbagai alasan yang tidak masuk akal dengan mudah bisa dibuka. Siapapun yang melakukan tugas-tugas pelayanan publik, alasan yang masuk akal harus dimiliki dalam melakukan sesuatu. Terobosan kebijakan pun yang dilakukan, tetap harus memiliki alasan semacam ini.

Di luar konteks pelayanan, ada hal lain yang orang seharusnya mendayagunakan alasan yang masuk akal. Dulu pernah kejadian, kiriman asap sampai di kampung kami. Ada banyak status yang memotret gambar ini. Suasana berkabut di sore hari, yang jarang terjadi. lalu muncul dengan berbagai macam komentar dan analisa dari berbagai status itu. Dengan berbagai perspektif atau cara memandang. Sebagian ada yang menyertakan peta masalah dan alternatif solusi. Sebagian lagi mencerca. Dan ada yang menyentuh di antara status itu, dengan mengetuk hati penguasa untuk memberitahu, bahwa di daerah yang bermula asap, masih dihuni manusia –bukan makhluk yang bisa hidup dengan penuh asap. Karena manusia tidak bisa hidup dengan asap, maka adanya asap menyebabkan gangguan pernafasan meningkat tajam. Ada yang menggunakan ruang medis untuk membentengi diri dengan apa yang terjadi, namun sebagian besar orang memilih tidak berbuat apa-apa, walau gangguan kesehatan juga terasa.

Alhamdulillah, di sini, setelah sorenya berasap, lalu malamnya turun hujan. Cuaca tersebut sangat membantu, dan membuat paginya, sudah tidak lagi berkabut dan berasap. Cerah. Ada pertanyaan menggelitik, mengenai perjalanan panjang asap. Waktu itu, lokasi kebakaran hebat terjadi di Riau, namun asapnya sampai ke ujung Sumatra. Mungkin karena merambat pelan, baru akhir-akhir ini terasa. Padahal bagian utara dan timur pulau, sebenarnya sudah merasakan lebih dahulu. Di sejumlah bandar udara, sudah beberapa waktu pesawat tidak bisa merapat karena jarak pandang yang sangat dekat.

Di antara sabak-sibuk asap, ada hal lain yang menarik. Mengenai pemeriksaan yang dilakukan pada berbagai perusahaan yang di wilayah mereka ditemui titik api. Untuk istilah ini, memang tidak semua disebabkan oleh perilaku manusia. Dengan kondisi kemarau-kerontang, tipikal tanah di sebagian wilayah Sumatra dipandang bisa menyimpan bara api. Namun harus diingatkan, bahwa penyebab karena manusia bisa dibedakan dengan titik api yang lahir karena cuaca dan kondisi alam. Terlalu naif apabila pejabat negara yang cerdas dan berpendidikan, berkomentar bahwa di lokasi bekas sawit yang semuanya sudah terbakar, bukan manusia penyebabnya. Padahal semuanya sudah terbakar rapi. Lalu mengapa kenyataan ini tidak bisa dicerna dengan baik.

Apalagi para pemeriksa beberapa pengusaha juga beralasan, bahwa di tanah mereka, ada banyak pekerja. Komentar orang cerdas juga kurang lebih sama. Mengutip kata pengusaha, bahwa mereka yang punya usaha dan lahan, tidak mungkin menyuruh para pekerja membakar apa yang ada dikebunnya. Lalu diambil kesimpulan paling mantap: para pekerja yang bekerja di lahan pengusaha, dengan kesadaran sendiri membakar apa yang ada di lahan itu, dengan demikian, pengusaha tidak bisa disalahkan.

Tahukan siapa para pekerja dan sekelas apa strata kehidupan mereka? Umumnya, mereka yang hanya mengumpul beberapa kilo beras untuk makan beberapa kali saja. Jadi wajar orang cerdas pandai berkilah.

Leave a Comment