Selfie

Mengapa jari-jemari kita sangat mudah menyebar sesuatu yang belum jelas? Layar telepon pintar begitu mudah digesek, walau untuk sesuatu yang masih diperdebatkan. Selebihnya, sesuatu yang tidak etis untuk ditebar, kenyataannya juga terbuka untuk berbagai ruang-ruang …

Mengapa jari-jemari kita sangat mudah menyebar sesuatu yang belum jelas? Layar telepon pintar begitu mudah digesek, walau untuk sesuatu yang masih diperdebatkan. Selebihnya, sesuatu yang tidak etis untuk ditebar, kenyataannya juga terbuka untuk berbagai ruang-ruang pembacaan.

Ruang refleksi kita mungkin masih bermasalah. Batin kita itu belum cukup lega untuk menilai sesuatu yang kita terima dengan matang. Apa yang terjadi? Sesuatu yang kita terima, dengan mudah kita teruskan ke orang lain lagi. Kita tidak mampu merenung terlebih dahulu, perihal efek apa yang akan terjadi dengan sesuatu yang kita teruskan itu.

Sudah seharusnya ada timbang-timbang di relung batin. Sesuatu yang kita terima, kita kunyah-kunyah dulu sambil bertanya di benak, layak diteruskan atau tidak, etis dikirim atau tidak. Jika di posisi kita, hal yang semacam kita kirim itu akan menyakitkan, maka begitu juga bagi orang lain. Putuskanlah untuk tidak menjadi orang yang akan menebar rasa sakit batin semacam itu.

Selama ini, dengan perkembangan alat teknologi, kita sudah tidak mampu menimbang-nimbang lagi. Semua kita rekam lalu sebarkan. Layak atau tidak, jauh dari pertimbangan kita. Ironis sekali. Berbagai musibah yang terjadi, tidak jarang kita jadikan bahan untuk kita kirim ke orang lain. Padahal kita sadar, saat posisi itu kita balik, kita sebagai korbannya, maka rasa sakit batin akan kita rasakan.

Rasa sakit ini seharusnya kita pakai untuk mencerna sesuatu. Orang yang menderita karena sesuatu, tidak langsung kita sebarkan.

Saat ini, ada berbagai fenomena sederhana, tetapi menurut saya penting, soal unduh, atau unggah. Bahan yang diunduh atau diunggah adalah foto, baik foto diri (selfie) atau foto keadaan sekitar. Lalu berbagai foto itu begitu diklik, langsung menyebar ke jalur massal. Setiap orang bisa menikmatinya. Di antara sekian foto, terdapat foto yang –mohon maaf—mungkin dengan menggunakan “rasa” membuat orang mempertimbangkan untuk membagi-bagikannya kepada orang lain.

Tidak semua foto yang sudah diundah bisa ditarik kembali. Saya menarik untuk melihat, unduh. Dalam kamus bahasa, unduh, mengunduh, berasal dari kata dalam bahasa Jawab, yang berarti “memanen” (buah). Penggunaannya memang berbeda-beda konteks. Misalnya unduh mantu, berarti “upacara menerima pasangan pengantin (oleh orang tua pengantin laki-laki setelah berakhirnya upacara pernikahan di rumah pengantin wanita)”. Sementara kata “unggah” juga berasal dari kata bahasa Jawa, yang berarti “tata krama” atau “sopan santun”.

Saya menelusuri dari konsep sebagaimana laman badan bahasa. Di sana disebutkan bahwa kata “mengunduh” (dari kata “unduh”) dan “mengunggah” (dari kata “unggah”) merupakan padanan bahasa Indonesia untuk istilah “to download” dan “to upload” dalam bahasa Inggris. Jadi yang terkait dengan tulisan itu, “to upload”, yang sepadan dengan “mengunggah” (dari kata “unggah”).

Dalam bahasa Jawa, sebagaimana laman badan bahasa, menggugah bermakna “menaikkan sesuatu ke tempat yang lebih tinggi”. Sebaliknya, “mengunduh” berarti menurunkan atau mengambil sesuatu dari tempat asalnya”. Makanya dalam kamus bahasa sendiri diartikan dengan “memanen”.

Penggunaan kata ini terkait dengan teknologi informasi, di mana yang dimaksud dengan “unggah” (“to download”) berarti “memindahkan data dari komputer yang lebih besar ke perangkat penyimpanan atau media komputer yang lebih kecil”. Sementara “to upload”, sebaliknya, “memindahkan data dari perangkan penyimpanan atau media komputer yang lebih kecil ke komputer yang lebih besar”.

Dengan memahami konsep ini, seharusnya orang akan berhati-hati dalam mengunggah atau mengunduh sesuatu. Apa yang mau diunggah dan diunduh, harus menggunakan rasa. Bisa jadi foto atau gambar atau apapun namanya, tidak melanggar hukum dilakukan unggah atau unduh, namun dengan menggunakan “rasa”, bisa jadi berbeda. Banyak hal yang tidak melanggar hukum, tidak berarti tidak melanggar yang lain, misalnya nilai dan etika.

Nilai dan etika itu, berbicara batin dan jiwa. Ketika kita sebagai manusia sudah tidak mampu menggunakan kedua itu, maka barangkali kita sedang berada pada posisi mati rasa.

Leave a Comment