Saya kira tidak berlebihan menyebut nama Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) –guru besar dari Leiden University—sebagai salah satu tokoh hukum yang membela hukum pribumi. Saya kira penting untuk menegaskan bahwa ada hukum, sebelum Indonesia merdeka, terutama sebelum hukum modern dipilih menjadi tradisi hukumnya.
Vollenhoven dijuluki sebagai Bapak Hukum Adat. Sebagai antropolog Belanda yang berjasa memberi keterangan ilmiah tentang bangsa jajahan, ia menegaskan bahwa bangsa jajahan tetap memiliki hukumnya yang bisa berbeda dengan hukum kolonial.
Dengan demikian, hal yang harus dipahami bahwa posisi hukum adat sudah hidup dan berkembang sebelum Indonesia merdeka. Dalam perkembangan pemikiran hukum, posisi hukum adat ini dikategorikan sebagai hukum tradisional –dengan cara pandang hukum tertentu. Dan pada posisi ini pula, hukum adat yang tradisional itu dipertentangkan dengan hukum modern.
Merujuk pada sejumlah ciri dari hukum modern, maka memversuskan antara hukum adat dan hukum modern, bukanlah suatu yang berlebihan. Posisi hukum adat memang berbeda dengan hukum modern yang dipengaruhi perkembangan masyarakat modern –yang kemudian membawa hukum ke arah hukum modern.
Salah satu tokoh penting dalam kajian hukum adat adalah van Vollenhoven, yang secara eksplisit menjelaskan bahwa siapa pun yang pernah mempelajari hukum di negeri Belanda, kemudian mempelajari hukum di Hindia Belanda, maka secara alamiah masuk ke dalam ranah baru. Di Hindia Belanda terdapat hukum yang dikodifikasikan, tetapi hanya sejumlah kecil keadaan hukum dan hubungan hukum saja (Dimyati, 2005).
Saya kira ketika kolonial membagi hukum atas pribumi dan Timur Asing, bentuk dari adanya pengakuan hukum pribumi –bagaimana pun wujudnya. Terdapat garis pemisah yang jelas antara hukum yang dikodifikasikan dan yang tidak dikodifikasikan di Hindia Belanda. Untuk golongan Eropa dan yang disamakan dengan Eropa (golongan yang mempunyai hukum objektif yang sama) keadaannya sama dengan tanah asalnya. Artinya hukum tertulis merupakan hal yang umum dan hukum adat sebagai pengecualian. Sebaliknya, untuk golongan pribumi, hukum tata negara dan administrasi serta hukum pidana hanyalah sebagian, sementara hukum perdata hanya sedikit sekali yang dikodifikasikan sehingga bagi mereka, justru hukum yang telah dikodifikasikan itulah yang berlaku umum. Di tengah keduanya terdapat hukum bagi golongan Timur Asing. Mereka memiliki sedikit hukum yang tidak dikodifikasikan dibandingkan pribumi. Timur Asing yang jauh lebih banyak hukum yang tidak dikodifikasikan dibandingkan Eropa dan yang sama dengannya (Dimyati, 2005).
Dalam bukunya, Teorisasi Hukum, Studi tentang Perkembangan Hukum di Indonesia 1945-1990, Khuzaifah Dimyati membedakan apa yang disebut hukum pribumi dan Timur Asing. Buku ini sendiri dalam edisi terbaru dengan judul yang sama, diterbitkan oleh Genta. Menurut Dimyati, hukum probumi (inlandsh rechts) terdiri atas hukum adat pribumi (adatrecht der inlanders) dan hukum pribumi yang dikodifikasikan (gecodificeerde recht der inlanders) –di dalamnya Inheemsch recht der inlander (hukum asli pribumi) dan Godsdienstige bestanddeelen (bagian-bagian yang berhubungan dengan agama). Sedangkan hukum Timur Asing (vreemdeoosterlingen recht) terbagi atas hukum adat Timur Asing (adatrecht der vreemdeoosterlingen) dan hukum Timur Asing yang sudah dikodifikasikan (gecodificeerde recht der vreemdeoosterlingen) –di dalamnya Eigen Volksrecht der vreemdeoosterlingen (hukum rakyat asli Timur Asing) dan Godsdienstige bestand (bagian-bagian yang bersangkutan dengan agama).
Dengan demikian, hukum pribumi meliputi hukum adat pribumi, terdiri atas hukum asli pribumi, bagian-bagian yang bersangkutan dengan agama, dan hukum pribumi yang sudah dikodifikasikan. Sedangkan hukum Timur Asing, terdiri atas hukum adat Timur Asing meliputi hukum rakyat asli Timur Asing, bagian-bagian yang bersangkutan dengan agama, dan hukum Timur Asing yang sudah dikodifikasikan.