I Dream of Peace

Suatu kali, saya membaca satu artikel Serambi Indonesia edisi 27 Juni 1999, yang ditulis oleh Munawar Mukimbeurahim. Ia mengutip satu kisah yang penting dari satu judul buku yang setelah saya telusuri melalui mesin pencari, judul …

Suatu kali, saya membaca satu artikel Serambi Indonesia edisi 27 Juni 1999, yang ditulis oleh Munawar Mukimbeurahim. Ia mengutip satu kisah yang penting dari satu judul buku yang setelah saya telusuri melalui mesin pencari, judul lengkapnya adalah I Dream of Peace: Images of War by Children of Former Yugoslavia yang disponsori Unicef (Harper Collins, 1994). Sampul buku ini putih, dengan sketsa merpati yang sedang terbang di udara, di bawahnya anak-anak yang sedang bermain, di hadapan tank yang menembaki mereka dengan bunga-bunga. Penulis buku ini adalah anak-anak petani yang korban perang.

Buku ini merupakan upaya dalam program pertolongan kepada anak-anak dengan trauma psikologis di Yugoslavia. Dalam buku ini, ada satu ungkapan penting yang diungkapkan seorang anak yang bernama Alexander (14 tahun). Katanya, “when i close my eye, ia dream of peace”. Kata-kata itu ia keluarkan sesaat setelah ia diganti perban pada luka bakarnya yang sangat parah karena ledakan bom molotov. Kata-kata ini yang kemudian menjadi judul buku.

Ungkapan demikian, di dalam kawasan konflik dan perang, tentu seperti sebuah mimpi yang entah kapan akan tergapai. Seperti Alexander yang bermimpi dan berharap akan ada kedamaian, tetapi kekerasan terhadap anak-anak hingga kini di seluruh penjuru dunia, masing berlangsung dan menyedihkan.

Orang lalu mengaitkan berbagai peristiwa dan tragedi dengan perkembangan sejarah perang dan upaya menggapai kemanusiaan. Sebagian melupakan bahwa dalam banyak perang, mereka yang mengambil kebijakan juga mengatasnamakan kemanusiaan itu. Butuh kajian pemaknaan untuk menyamakan persepsi. Barangkali, ada perbedaan makna yang tajam antara kemanusiaan yang dimaksudkan oleh satu pihak dengan pihak yang lainnya. kenyataannya konflik dan perang selalu meminta korban. Sekali lagi, bahwa korban itu seperti Alexander merasakan korban perang demikian. Seharusnya, sebagai tujuan kemanusiaan, perang pun akan menegaskan adanya korban-korban kemanusiaan yang tidak hanya dialami oleh mereka yang berperang. Bahkan orang-orang yang tidak berdaya sekalipun, tidak luput dari korban –bahkan juga dikorbankan.

Masalahnya adalah ketika fenomena ini terjadi saat perdebatan tentang menghargai kemanusiaan sedang hangat-hangatnya dibangun. Seseorang mengingatkan saya bahwa dalam hal apapun, sering tidak semua idealitas adalah realitas. Idealitas sering berversus dengan realitas. Membicarakan masalan yang demikian, tidak sesederhana seperti menggunakan rumus tambah, semisal satu tambah satu akan jadi dua. Dalam konteks ini, satu tambah satu bisa jadi nol, atau bahkan bisa jadi lebih dari dua.

Bisa jadi orang akan mengeluh, mengapa terlalu menganga perbedaan antara idealitas dan realitas. Idealitas seharusnya menjadi ukuran awal, hepotesis, untuk mengukur hasil akhir. Anjak demikian, berarti ada sebuah keseriusan untuk mewujudkan realitas yang sebaik mungkin.

Dalam lingkup kebijakan sekalipun, seyogianya juga demikian. Namun dalam praktiknya, seringkali jauh dari apa yang diharapkan. Seperti orang yang ingin membandingkan antara teori dan praktik, perbedaan antara keduanya begitu terlihat. Di sinilah yang dimaksud bahwa pada tataran the matter of principle, sesuatu itu selalu bernilai baik, namun tataran the matter of fact, yang seringkali tampak adalah kontradiktif.

Apa yang dialami Alexander bukanlah luka gores. Sudah terbenam di jiwanya yang dalam betapa luka itu bernanah yang jika salah-salah perlakuan, orang dewasa tidak bisa membersihkannya. Dengan membersihkan itu, yang membuat ia pada akhirnya bisa kembali kepada ketulusan dan kejernihan berpikir.

Nono Anwar Makarim, dalam suatu edisi Tempo, 12 Juli 1986, menulis dan mengingatkan kita semua. “Kita membaca bahwa kejahatan dengan kekerasan di mana-mana meningkat secara mencolok. Di sana-sini ada bom primitif meledak. Pembersihan terhadap senjata api dilaksanakan, dan penembak misterius pun bereaksi. Respons penjahat adalah penggunaan celurit dan peningkatan tindakan kriminal. Respons masyarakat adalah mobilisasi keamanan sendiri. Di kota besar muncul suatu lapangan kerja baru: Satpam. Di mana aparatur resmi kewalahan, di situ aparat tidak resmi muncul”.

Leave a Comment