Merujuk pada konsiderans UU PLH, ada perkembangan global yang sedang direspons oleh hukum nasional kita. Hal ini sangat penting dan ada momentum yang penting terjadi sebelum UU PLH ini dibentuk, yakni Pertemuan Rio de Janeiro tahun 1992. Konsep ini sendiri sudah muncul sejak ada satu laporan The World Commission on Environmental and Development (WCED), Our Common Future (WCED, 1987).
Dalam satu konsiderans menimbang huruf d UU PLH disebutkan “bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup”.
Sementara konsiderans menimbang huruf e disebutkan satu hal penting “bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa sehingga pokok materi sebagai mana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup”.
Konsep pembangunan berkelanjutan itu sendiri, dalam dokumen Our Common Future disebutkan, ada kepentingan penting untuk memastikan bahwa pembangunan tersebut memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Berdasarkan buku Takdir Rahmadi, laporan WCED tersebut, atau yang disebut sebagai Komisi Brundtland, tidak merumuskan istilah pembangunan berkelanjutan, melainkan menggunakan dan mempopulerkannya (Rahmadi, 2013). Hal lain yang penting, bahwa konsep ini sudah mulai muncul sejak dari Pertemuan Stockholm, namun waktu itu, tidak disepakati karena dianggap terlalu abstrak, tidak jelas indikator, dan sebagian negara merasa akan berdampak bagi pembangunan mereka (Alisjahbana & Murniningtyas, 2018).
Hal lain yang dapat dijelaskan adalah sebagaimana tertera dalam konsiderans di atas, jelas terbaca dan eksplisit bahwa penyempurnaan UU PLH itu dilakukan berdasarkan konsep tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yang mana konsep tersebut lahir secara formal melalui laporan yang disebutkan.
Selain itu, secara formal terjadi sejumlah pertemuan penting (Pertemuan Tingkat Tinggi) untuk membicarakan banyak hal hingga melahirkan konsensus-konsensus. Hingga saat ini, terbaca bahwa tidak semua pertemuan menghasilkan sesuatu yang direncanakan. Secara global, tarik-menarik dalam isu lingkungan lumrah terjadi.
Dalam sejumlah buku yang menceritakan bagaimana pertemuan demi pertemuan yang berlangsung di dunia terkait pembangunan hukum lingkungan, Indonesia terlibat aktif sejak dari Pertemuan Stockholm (Salim, 2010). Bahkan dalam Pertemuan Rio, Indonesia memberi perhatian lebih mengingat kesadaran Indonesia sebagai negara kepulauan yang turut mengalami berbagai implikasi serius dari situasi perubahan iklim (Hardjasoemantri & Supriyono, 2014).
Kesadaran tersebut pada dasarnya menjadi semangat dalam melakukan perubahan atas UU PLH. Dari segi waktu, tahun 1982 hingga 1997, perubahan bukan sesuatu tidak wajar, apalagi mengingat berbagai perkembangan yang terjadi dalam isu lingkungan, termasuk perkembangan teknologinya, pada idealnya telah mendapat pengaturan baik dalam hukum tertulis.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.