Jamaah

Semalam, penceramah kembali membandingkan orang yang duduk di warung kopi dengan mereka yang beribadah di dalam masjid. Orang yang di warung kopi bisa betah duduk dan ngobrol berjam-jam. Apa yang menyebabkan mereka mampu melakukannya? Karena …

Semalam, penceramah kembali membandingkan orang yang duduk di warung kopi dengan mereka yang beribadah di dalam masjid. Orang yang di warung kopi bisa betah duduk dan ngobrol berjam-jam. Apa yang menyebabkan mereka mampu melakukannya? Karena untuk duduk di sana mereka begitu yakin dengan apa yang dilakukan. Duduk di warung kopi dilakukan dengan penuh kesadaran. Karena ada sesuatu yang ingin dirasakan di sana, maka semangat untuk mendapatkan sesuatu itu yang membantu merealisasikannya.

Apakah di dalam ibadah tidak bisa demikian? Tentu bisa saja. Sejumlah masjid yang dipersiapkan dalam sepuluh akhir Ramadhan, menandakan semuanya bisa dicapai. Mereka yang beribadah malam tidak sedikit jumlahnya, terutama sejumlah masjid yang kepanitiaannya menyiapkan segala sesuatu secara maksimal. Jamaah shalat malam bisa melebihi daya tampung.

Sejumlah masjid yang secara kreatif memanfaatkan peluang itu, kenyataannya bisa mewujudkan kemakmuran masjid. Berbeda dengan yang tidak dipersiapkan, orang yang hadir biasa saja.

Persiapan yang dilakukan menyangkut dua hal. Panitia berusaha memfasilitasi sejumlah kebutuhan jamaah, seperti kebersihan dan makanan. Termasuk untuk fasilitas sahur bagi mereka yang rumahnya jauh dari lokasi. Persiapan lain menyangkut dengan isi-isi ceramah yang bisa menyemangati mereka yang ingin merealisasikan ibadah malam.

Intinya persiapan harus dilakukan. Persiapan yang akan melahirkan semangat untuk melakukannya. Dengan semangat yang menyala demikian, tidak soal jam berapapun, akan mampu direalisasikan.

Dalam ibadah, persiapan ini yang umumnya dimiliki mereka yang konsisten. Setidaknya saya merasakan ada dua pengalaman. Di kampung, tempat saya tinggal, ada jamaah tetap meunasah, yang berdiri di pinggir kiri saf paling depan, seorang yang sudah berumur, namun penglihatannya sudah tidak jelas. Saya tidak tahu persis bagaimana ia berangkat dari rumah hingga sampai di meunasah. Yang jelas setiap saya shalat jamaah di sini, ia selalu ada. Termasuk tarawih selama saya ikut di sini, orang ini selalu ada.

Berbeda dengan anak-anak muda yang berpindah-pindah tempat. Dari ujung saf depan, berpindah ke saf tiga, lalu maju ke saf dua. Hingga bisa kembali lagi ke saf pertama. Alasannya karena ingin mendapatkan penyegaran, agar tarawih setiap malam mampu diselesaikan.

Mereka yang bertahan, berbeda dengan orang-orang yang justru tidak datang sama sekali. Atau malah tidak menyelesaikan secara penuh. Orang yang penglihatannya tidak jelas di atas, seolah menjadi potret bagaimana kita harus banyak belajar untuk mempersiapkan banyak hal dalam hidup ini.

Pengalaman satu lagi, ketika menyaksikan di suatu tempat, dalam hal alat komunikasi, semisal telepon pintar, yang digunakan tidak pada tempatnya. Orang-orang yang shalat tarawih dan memilih saf depan, namun menyalakan alat komunikasinya setiap selesai dua rakaat tarawih.

Hal ini menandakan bahwa alat komunikasi selalu dipakai berdasarkan orientasi masing-masing pemiliknya. Di dalam atau di luar masjid, Anda bisa melihat seseorang yang memegang alat komunikasi untuk membuka dan membaca ayat-ayat suci. Di pihak lain, tak jarang, ketika berada di tempat-tempat yang suci sekalipun, kita tidak bisa menahan diri untuk tidak memakai alat komunikasi barang sejenak.

Begitu kuatnya posisi alat ini, sampai-sampai ada sebagian orang, sekiranya bisa menjawab selagi shalat pesan-pesan yang masuk, maka akan dijawab pada waktu itu. Namun hal demikian, tentu tak dibenarkan. Makanya kenyataan lain yang tampak, bahwa seseorang yang tidak bisa menahan diri barang sebentar dari menjawab atau melihat berbagai pesan yang masuk, menyebabkan ianya tidak bisa memisahkan tangannya dari alat komunikasi.

Begitulah. Alat komunikasi, secara tidak tersirat, bagi sebagian seperti menjadi pujaan baru. Buktinya, ia selalu ada di sisi kita ketika dalam posisi apapun. Bahkan posisi ini, terkesan jauh lebih penting, misalnya maaf, ketika ada panggilan-panggilan untuk ibadah. Seberapa banyak orang langsung bergerak ketika kita dipanggil atau diberitahukan untuk beribadah? Berbeda dengan persiapan kita dalam menyambut pesan-pesan yang masuk melalui alat komunikasi. Apakah ini tandanya? Ada berbagai macam jawaban. Sebagian mengatakan kita sudah mementingkan hal itu jauh lebih penting dari yang lain. Dan untuk hal ini, patut menjadi peringatan. Orang-orang yang tidak bisa menempatkan diri, dalam menggunakan alat-alat semacam itu, sudah pada tempatnya kita untuk melakukan evaluasi diri.

Bisa dibayangkan bila ada orang yang sengaja menempatkan diri di saf depan dalam sebuah ibadah, namun ia sibuk mengurusi alat komunikasinya ketimbang untuk serius merenungi sedang terjadi apa dalam rumah ibadah tersebut. Ada orang yang menduga bahwa orang bisa mengaji melalui alat ini. Ketahuilah apabila kita berdiri di samping orang yang memakai hal tersebut, kita bisa gamblang menyaksikan apa yang sedang mereka mainkan. Tidak perlu mengintip, karena banyak kita yang juga tidak malu menjawab dan mengirim pesan pada saat-saat yang demikian.

Sudah beberapa kali saya lihat anak muda asyik sekali dengan alat komunikasi. Mengirim pesan melalui WhatsApp dan facebook. Tidak ada yang salah, hanya mungkin ia melakukan pada waktu yang salah. Orang yang duduk pada saf depan, lalu kusyuk sekali dengan mengirim dan menjawab pesan, itu akan terpengaruh sekali kepada yang lain. Orang yang bisa menempatkan diri, tidak mungkin menggunakan waktu dan tempat yang demikian untuk sesuatu yang kurang penting –setidaknya dibandingkan dengan kepentingan yang bersangkutan ketika berdiri di saf depan tersebut.

Siapa peduli mengenai hal ini? Bagi sebagian, ibadah itu ditempatkan pada ruang yang sangat individual. Tapi bagi saya, orang yang sibuk demikian harus diusik karena tidak pada tempat dan waktu yang tepat. Mentalitas yang sakit ini harus diperbaiki oleh kita semua.

Konteks yang saya sebut terakhir ini juga butuh persiapan. Tidak mudah meninggalkan alat komunikasi yang selama ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sebagian orang. Bahkan ketika alat semacam itu tidak ada di sampingnya, ia bisa berada dalam kondisi yang sakit jiwa. Tentu kondisi semacam ini butuh persiapan untuk mengelola penggunaannya. Dipakai pada waktu yang tepat, dengan tempat yang tepat.

Leave a Comment