Kekayaan

Pernah saya tulis, betapa orang-orang yang tidak memiliki beban pikiran, bisa tidur nyenyak di mana pun. Saat merebahkan badan, tidak harus berlama-lama, guling kanan dan guling kiri, langsung bisa tertidur pula. Beban pikiran yang saya …

Pernah saya tulis, betapa orang-orang yang tidak memiliki beban pikiran, bisa tidur nyenyak di mana pun. Saat merebahkan badan, tidak harus berlama-lama, guling kanan dan guling kiri, langsung bisa tertidur pula. Beban pikiran yang saya maksudkan, pada apa yang seharusnya dipikirkan setiap hari dan seolah tidak bisa melakukan sesuatu yang lain saat pikiran itu belum diselesaikan.

Persoalan dalam kehidupan manusia modern, selalu tidak bisa dilepaskan dari adanya berbagai hal itu. Dengan banyaknya penggoda dan sesuatu yang menganggu pikiran.

Keadaan ini seolah berelasi dengan bagaimana keinginan dan proses pencapaian orang terhadap apa yang disebut sebagai bahagia. Ada pertanyaan orang di luar sana, apakah kekayaan selalu memiliki relasi dengan kebahagiaan? Tidak semua orang menganggap ya. Tidak sedikit orang yang menganggap tidak? Terutama ketika melihat kenyataan bahwa orang-orang yang memiliki rasa bahagian tinggi, tidak dari mereka yang melimpah secara materi. Namun kini dunia sudah memiliki alat ukur tersendiri, sehingga tiap tahun bisa ditentukan negara mana yang memiliki tingkat kebahagiaan paling tinggi. Saya tidak ingin membahas tentang alat ukur itu. Hanya saja, kalau kita ingat orang tua kita, mereka dulu punya rumus yang sangat sederhana. Bahagian menurut mereka adalah makan cukup, hidup tidak merasa berkekurangan, bisa mencari rezeki dengan tenang, dan mengakses kebutuhan dengan mudah.

Lalu lebih jauh, sesungguhnya bagi mereka yang penting adalah semuanya merasa nyaman. Makanya orang tua kita bisa tidur dengan tenang dan nyenyak di mana pun. Tidak merasa dikejar atau dihantui oleh berbagai keadaan. Dengan demikian konsep hidup yang lebih jauh, tidak jauh-jauh dari rumus: selalu merasa berkecukupan. Rumus ini yang menghindarkan orang dari rasa tamak dan rakus, mengumpulkan harta hingga tujuh turunan.

Konsep demikian, kenyataannya semakin berbeda jauh dengan zaman kekinian, di mana orang-orang fokus bahwa yang disebut orang yang kaya adalah mereka yang memiliki sesuatu. Teringat saya dalam satu ruang diskusi, ada seorang peserta melempar satu hal yang bagi saya sangat menarik. Ia mulai dengan menyebut sepuluh besar orang kaya di Indonesia. Mulai dari urutan sepuluh hingga urutan dua. Sedangkan urutan satu adalah orang yang shalat sunat fajar dua rakaat, lebih baik dari dunia dan isinya, berdasarkan Hadis Rasulullah dari Aisyah, diriwayatkan Bukhari dan Muslim.

Dari hal itu, kemudian diskusi berlanjut dari yang serius hingga yang santai. Masing-masing dengan menggunakan logika dalam pikirannya. Sebenarnya ada perbedaan perspektif dalam melihat posisi kaya sebagaimana dari urut sepuluh hingga dua, dengan posisi yang satu. Mungkin kalau ini jelas dari awal, tidak masalah. Urutan sepuluh hingga dua diurutkan orang-orang yang memang memiliki kekayaan materi, terbukti dengan adanya data yang jelas tentang kekayaan materi yang mereka miliki. Sementara pada posisi satu, itu kekayaan yang tidak kasat mata dan harus dilakukan dengan ikhlas dan tidak pamer. Kini dengan perkembangan alat teknologi, segala kebaikan disiarkan secara mencolok dan terkesan seperti pamer ketimbang untuk mengajak orang berbuat baik. Kondisi yang disebutkan terakhir juga menghanguskan apa yang sampaikan di atas.

Konsep kekayaan sendiri sebenarnya tidak hanya kekayaan harta dan materi (uang, barang, dan sebagainya), melainkan juga mempunyai sesuatu yang di luar harta dan materi. Orang yang kaya harta dan materi bisa saja memiliki kekayaan yang diluar materi, misalnya kaya hati melalui kedermawan dan pemurah hati.

Saya termasuk orang yang menganggap kedermawanan dan kemurahan hati tidak selalu harus dijawab dan tergantung dari kekayaan materi. Ingatlah bahwa dengan senyum pun kita bisa bersedeqah, dan tak jarang dengan senyum banyak sekali meredakan dan menyelesaikan banyak masalah.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment