Kerja

Ada cerita teman yang rumahnya sangat jauh dari tempatnya bekerja. Bekerja –dalam konteks berusaha memenuhi nafkah—dengan cara, proses, dan hasil yang halal harus dilakukan oleh setiap manusia. Haram hukumnya jika berusaha dengan cara, proses, dan …

Ada cerita teman yang rumahnya sangat jauh dari tempatnya bekerja. Bekerja –dalam konteks berusaha memenuhi nafkah—dengan cara, proses, dan hasil yang halal harus dilakukan oleh setiap manusia. Haram hukumnya jika berusaha dengan cara, proses, dan hasil yang tidak halal. Posisi ini tidak bisa digonta-ganti. Tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan alasan, seperti orang yang membuat minuman tidak halal, akan tetapi bukan untuk dirinya, melainkan untuk orang lain. Pengecualian ada, namun sangat sempit dan teknis. Seseorang yang terombang-ambing di tengah laut, misalnya, tidak ada makanan sama sekali dan ia sangat lapar. Pada posisi yang demikian, ketika ada makanan tidak halal lewat, hanya boleh dimakan hanya untuk sekedar bertahan hidup, bukan untuk kenyang.

Selama ini kita sering mendengar pernyataan yang dibolak-balik. Bekerja di tempat yang tidak halal, asal bukan untuk kita, bukankah tidak apa-apa? Kira-kira begitu ada kilah dan penyelamat kisah. Padahal di luar tempat yang tidak halal, luar biasa banyaknya. Berarti bukankah orang yang bekerja di tempat yang tidak halal pada dasarnya sengaja berada di tempat demikian? Orang-orang yang mau bertarung dalam hidupnya, dengan tekad melakukan cara, proses, dan hasil yang halal, banyak yang berhasil. Ada yang gagal, namun dengan tekad ingin hidup bersih, semua bisa dilalui.

Hal itu yang saya ingat, ketika mendengar kisah teman saya yang jauh tinggalnya dari tempat kerja. Bukan tidak boleh tinggal di tempat jauh. Di kota besar, karena tinggal terlalu jauh, waktu sering dihabiskan di jalan. Keluar sebelum matahari terbit, agar tercapai tepat waktu ke lokasi kerja, dan pulang ketika matahari sudah terbenam. Begitu selalu kondisinya. Hal yang sama hampir dirasakan oleh teman yang tinggal jauh itu. Dengan delapan jam di lokasi kerja, praktis, hanya tiga atau empat jam saja ia berada di rumah.

Kondisi demikian sesungguhnya tidak baik. Waktu berinteraksi yang sangat kecil dengan keluarga dan orang-orang sekitar. Padahal kita membutuhkan orang-orang di sekitar kita. Ada sejumlah lapisan penting. Lapisan paling dekat dengan kita tentu keluarga, ada suami atau istri dan anak-anaknya. Orang-orang yang sudah memiliki keluarga, tidak mungkin abai terhadap posisi mereka. Ada orang yang menyederhanakan masalah, seolah-olah kebutuhan keluarga hanya uang. Kita tidak sepenuhnya ingat bahwa uang hanyalah secuil dari sejumlah unsur yang masuk dalam kategori nafkah.

Selanjutnya pada lapisan lebih longgar, ada yang namanya keluarga besar. Posisi ini penting dan strategis. Tidak semua target dalam berkeluarga tercapai dan dengan mudah dipenuhi oleh masing-masing keluarga kecil. Di sinilah keluarga besar saling berbagi peran. Ketika ada satu musibah, seseorang yang harus menanggung banyak hal, maka keluarga besar memperkecil kebutuhan itu.

Baru pada lapisan terakhir ada masyarakat. Jangan menganggap sederhana posisi masyarakat ini. Masyarakat yang paling dekat dengan kita adalah tetangga tempat tinggal. Banyak orang yang sudah tidak tinggal bersama keluarga besar. Pada saat demikian, yang menjadi tetangga adalah orang lain, yang biasanya tidak ada hubungan keluarga sama sekali.

Ketiga lapisan itu masing-masing membutuhkan perhatian. Tidak boleh dibiarkan, dengan alasan yang sederhana, misalnya sibuk dengan berbagai aktivitas lain. Semua orang sibuk. Ketika kita melihat ada orang yang super sibuk, namun tidak mengurangi perhatiannya terhadap seluruh lapisan di atas, kita sudah harus bertanya, mengapa mereka bisa?

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment