Saya pernah mendengar mengapa ada orang cacat memilih untuk menjadi pengemis. Pada saat yang lain, saya juga pernah mendengar ada orang yang cacat mengatakan sangat malu sekiranya harus menjadi pengemis. Maka pilihan masing-masing akan berbeda, dengan berbagai latar belakang keteguhan tekadnya. Kita tahu, bahwa mengemis, atau meminta-minta, sangat naif bila ia menjadi profesi. Maksudnya adalah sesuatu yang dilakukan terkait dengan bidang pekerjaan, yang dalam hal ini, seharusnya terkait dengan keahlian. Meminta-minta di luar dari kualifikasi demikian. Orang seharusnya hanya akan meminta-minta untuk kebutuhan yang sangat mendesak. Misalnya meminta sebungkus nasi karena memang sudah berhari-hari tidak makan. Sementara meminta-minta, lalu hasilnya menumpuk jadi kumpulan harta, sungguh itu sudah bergeser dari makna tersebut. Konon lagi dalam Islam, sangat diingatkan bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Mereka yang memberi jauh lebih baik dari mereka yang menerima.
Konsep memberi dan menerima, pada akhirnya ditekankan dalam nilai agama, tidak boleh saling merendahkan. Orang yang memiliki kelebihan, ketika memberi sesuatu kepada orang yang membutuhkan, harus melalui satu filter, tangan kanan yang memberi tidak perlu diketahui tangan kiri. Demikian juga mereka yang menerima, harus dengan arif memaknai itu dengan selalu berucap syukur. Ketika kesalingan ini bisa berjalan, maka sungguh tak ada sesuatu yang patut digelisahkan.
Masalahnya adalah penyebab pemberi dan penerima yang bergeser. Penerima yang berorientasi untuk membangun kekayaan, maka ujungnya tidak baik. Demikian juga mereka yang memberi karena terkait label tertentu, juga berimplikasi hal yang sama. Orang tidak bisa merasakan lebih dalam sekiranya tidak melibatkan batin dan rasa. Orang-orang yang meminta karena kepentingan ingin menumpuk kekayaan, merupakan orang yang berusaha untuk tidak mengikutkan hati dan rasa dalam aktivitasnya. Melakukan sesuatu secara fisik, yang juga tidak lagi memiliki beban ketika melakukan aktivitas demikian. Bahkan ada yang tidak menerima ketika jumlah pemberian dari seseorang tidak seperti harapan.
Berbeda dengan mereka yang menggunakan hati dan rasa. Mereka akan melakukannya bila benar-benar mendesak. Ketika tidak ada pilihan lain, mereka baru akan melakukannya. Sekiranya masih ada peluang lain, maka mereka akan menggunakan apapun. Inilah alasan mengapa orang yang saya pernah mendengar keluhannya, seorang yang cacat fisik, namun bekerja secara maksimal. Baginya kondisi cacat bukan alasan untuk tidak bekerja. Cacat juga tidak selalu bisa menjadi alasan untuk tidak bisa berkreativitas sebagaimana yang diinginkan. Wajar saja, ketika dari keluarga orang-orang yang cacat, kemudian bisa lahir generasi-generasi yang luar biasa. Bukan sesuatu yang aneh, ketika melalui rahim orang cacat, kemudian dicatat sebagai generasi tangguh yang memberi makna bagi banyak orang yang di sekelilingnya. Dari orang yang pernah saya dengar itulah, antara lain lahir generasi yang demikian.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.