Istilah hukum modern selalu muncul dalam berbagai level belajar hukum. Kajian ini sebagaimana filsafat selalu memilah penelusuran sesuatu dalam dua ruang: terminologi dan etimologis. Terminologi menjelaskan tentang peristilahan kata-kata, dan batasan atau definisi suatu istilah. Sedangkan etimologi, mengkaji asal-usul kata. Pada akhirnya, kita bisa menempatkan suatu istilah baik dalam teks maupun konteksnya.
Konsep hukum modern, dengan beranjak dari Marc Galanter, hukum dinilai dari sudut kegunaannya sebagai sarana untuk menertibkan masyarakat. Beberapa ciri hukum modern adalah bersifat personal, universal, rasional, dan teritorial (Rahardjo, 2006). Ciri demikian, menuntut berbagai piranti lain juga mengikuti. Salah satunya adalah tuntutan tenaga ahli yang memahami hukum sesuai dengan perkembangan demikian.
Ada satu keadaan yang diungkapkan oleh Esmi Warassih terkait bagaimana para ahli hukum terutama pada awal Orde Baru. Posisi era ini sangat penting mengingat Indonesia pernah menggunakan konsep hukum sebagai alat rekayasa dalam menyukseskan pembangunan.
Berangkat dari bagaimana hukum dijadikan sebagai alat rekayasa sosial dalam rangka menyambut orientasi pembangunan pada awal Orde Baru, maka tenaga terdidik hukum juga menyambut perkambangan demikian. Tenaga hukum yang sudah harus menguasai dunia hukum secara kompleks. Mereka yang merasa perkembangan hukum modern telah berhasil meninggalkan hukum tradisional, maka cara pandang terhadap hukum juga berubah. Hanya memandang hukum sebagaimana dipandang secara universal, sebagaimana konsep hukum modern. Padahal ketika tenaga hukum dimaksud sebagai pendamping perubahan dalam masyarakat –akibat perubahan orientasi pembangunan—maka tenaga hukum harus mampu tidak hanya menjadi pemasang pasal saja –alam arti tukang. Ahli hukum harus mampu menjadi pembaharu sosial, perencana sosial, bahkan arsitek sosial. Posisi yang disebut terakhir ini, tidak hanya menerima hukum begitu saja, melainkan mampu menjelaskan kehadiran hukum dalam masyarakat dengan segala seluk-beluknya (Warassih, 2014).
Di sinilah tawaran Satjipto Rahardjo agar mereka yang terdidik hukum tidak berhenti pada pola pendidikan klinis hukum, melainkan lebih jauh mereka yang mampu melihat fenomen hukum dalam berbagai fungsinya dalam masyarakat (Rahardjo, 1980). Hukum harus dibedakan dari cara pandang yang hanya diperuntukkan bagi kepastian, dengan orientasi keadilan yang harus dimiliki dalam hukum. Secara filsafati, hukum dan keadilan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.
Hukum yang hanya mengejar target kepastian, maka akan berhenti pada formalisme. Padahal hukum tidak sebatas pada bentuk dan eksistensinya, melainkan juga pada substansi yang tidak mungkin dipisahkan dari unsur kultur dari hukum di dalamnya. Pada posisi ini, hukum tidak mungkin dipisahkan dari empati dan rasa dalam diri manusia yang menggerakkan dan menggunakannya.
Kondisi di atas yang ditakutkan ketika hukum dimaknai secara formal semata, berpeluang dijadikan tenaga hukum sebagaimana di negara maju melalui perusahaan-perusahaan hukum yang berorientasi bisnis dan komersial semata. Model tenaga profesi hukum yang demikian, terang akan menganggu keberadaan profesi hukum di negara kita yang harus berpihak pada masyarakat bawah.
Menurut Satjipto Rahardjo dan Esmi Warassih, potret gelombang tenaga profesi hukum dalam bentuk law firm, dengan orientasi memberi jasa, dilakukan secara profesional oleh tenaga yang berkualitas dan memiliki kemampuan dan standar profesional. Profit menjadi tujuan penting dalam pendampingan hukum demikian. Klien yang datang pun adalah orang-orang yang mampu membayar jasa profit demikian. Dalam kaitannya dengan stratifikasi dalam masyarakat, keberadaan profesional hukum demikian tidak sesuai dengan cara hukum bangsa Indonesia. Memasang tarif hukum akan mengganggu cara berhukum khas Indonesia yang berkemanusiaan.
Hal inilah yang dicatat oleh Daniel S. Lev, melalui munculnya gerakan-gerakan hukum untuk mengantisipasi dominasi profesional hukum profit yang semakin mendominasi dalam dunia hukum secara global. Di sinilah konteksnya apa yang dimaksudkan sebagai bantuan hukum struktural untuk mengantisipasi adanya lubang pendampingan hukum bagi mereka yang berhak (Lev, 1990).
Catatan penting dari Daniel S. Lev yang sudah pernah diungkapkan sebelumnya, betapa negara ini justru tidak memilih hukum yang khas dirinya sebagai konsep hukum negara, melainkan hukum modern yang sangat dipahami oleh pada ahli hukum kita.