Para peneliti hukum dan kebudayaan, mengkaji bagaimana negara-negara baru membangun hukumnya. Tidak semua bangsa berhasil berdiri dengan kaki sendiri. Hukum yang mereka bangun, dengan menggunakan modal dari banyak negara. Ada yang berdasar hibah, namun tidak sedikit atas nama utang. Negara yang awal-awal merdeka, berutang sepertinya dianggap bukan satu masalah, dengan alasan kebutuhan akan pembangunan.
Mereka yang memberi utang, biasanya akan menciptakan ketergantungan. Mereka yang berutang akan berada pada posisi tidak percaya diri, serta hitung-hitungan balas jasa, yang suatu saat kebaikan hati mereka yang memberi utang akan diperhitungkan.
Pada saatnya ada yang bersatu dalam satu kelompok tertentu. Berbagai kebijakan akan dilahirkan dalam proses dan kepentingan tidak jauh-jauh dari kepentingan negara yang pernah memberi utang. Mereka yang pernah memberi utang, biasanya tidak bisa mengoreksi terlalu banyak hal.
Pengkaji hukum menemukan alasan ini paling dominan. Banyak negara kemudian membentuk hukumnya pun tidak terlepas dari kepentingan banyak negara. Padahal hukum suatu negara juga memiliki budayanya sendiri. Tidak bisa langsung mengambil contoh dari tempat orang lain, lalu membawanya ke sana.
Hal yang serius juga dihadapi negara-negara yang baru mereka pada akhir abad ke-20. Mereka belum mampu secara utuh untuk membangun hukumnya sendiri. Sehingga dalam beberapa bagian, selain bergantung pada negara lain, juga hukum negara bekas induknya. Tidak jarang, hukum yang digunakan di negara tersebut, sudah lama tidak dipakai di negara induk.
Perkembangan hukum itu cepat sekali. Perbedaan sampai 20 tahun, bukan waktu yang sedikit –apalagi yang sampai setengah abad. Setiap tahun, ada saja yang berubah drastis, belum lagi masyarakatnya berubah dengan cepat.
Perubahan demikian, dalam dunia hukum, ini tidak aneh. Justru hal ini yang harus dipahami oleh mereka untuk melakukan pembaruan hukum. Seperti negara kita yang belum seutuhnya mampu menyusun undang-undang kitab pidana yang berhasil milik kita sendiri. Demikian juga perdata. Dalam beberapa bagian, kita juga menurunkan ilmu yang mungkin di negara Belanda sendiri sudah meninggalkannya.
Banyak negara yang mengadopsi mentah-mentah apa yang dipunyai oleh negara lain. Pembuat undang-undang sering melakukan studi banding ke negara-negara yang sebenarnya tiada hubungan secara langsung dengan undang-undang yang mau dibuat. Tetapi siapa yang peduli. Yang penting pergi, dengan alasan studi banding, lalu alasan bisa dicari-cari kemudian.
Bisa dibayangkan untuk membuat undang-undang bagaimana masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan sumber daya, kadang-kadang dilakukan ke negara yang tidak mempunyai pola masyarakat. Ini masalah serius dalam membangun hukum.
Belum lagi menerima ajakan mentah-mentah kepentingan donor untuk membangun hukum yang sesuai dengan semangat hukum di negara mereka. Orang-orang pandai dari negara-negara demikian, dan orang-orang kita yang memiliki semangat yang sama dengan mereka, membawa pulang rumus demikian. Lalu mencoba menggarapnya sesuai dengan wajah dan hakikat hukum negara orang. Padahal hukum apapun, itu tidak bisa langsung ditransfer antara satu negara ke negara lain, antar satu bangsa ke bangsa lain. Setiap negara dan bangsa, memiliki sejumlah karakter dan penguat di belakang hukum yang tampak.
Ketika mengajarkan hukum liberal, maka wajah ideologi liberal tidak mungkin dipisahkan di belakangnya. Demikian juga sebaliknya. Hukum liberal yang berwatak memberikan kebebasan besar untuk individu, berbeda dengan bangsa yang menerapkan hukum yang menyeimbangkan kepentingan individu dengan sosial. Bangsa yang memiliki jiwa membangun bersama dan menjadikan moral sebagai bagian dari wajah hukum, tidak bisa diterima oleh mereka yang berideologi hukum liberal. Dua titik ini hampir tidak mungkin bertemu.
Yang terjadi biasanya pemaksaan. Dengan kekuatan donasi dan dominasi, kekuatan ideologi liberal dengan mudah dimasukkan dalam wajah hukum di negara-negara yang menjadikan kepentingan sosial sebagai tidak terpisahkan dari kepentingan individu. Untuk kepentingan sosial, dipertanyakan habis-habisan, sebaliknya, untuk mempertanyakan kepentingan-kepentingan dominasi kepentingan individu, dianggap sebagai orang yang tidak ikut perkembangan dunia.
Itulah dunia yang berwajah timpang. Negara-negara yang mendominasi makin menang dan tidak peduli dengan bangsa-bangsa yang memiliki kekayaannya sendiri.
Tidak boleh menelan mentah-mentah apapun yang diberikan. Sesuatu harus dirasa-rasa dengan indera. Manusia yang berbudaya juga memiliki penyaring, dengan karakter bangsanya, ketika nilai orang lain mulai mewarnai. Menyaring untuk kebutuhan bangsa sendiri, dibutuhkan agar karakter bangsa tetap bisa dipertahankan.