Tahun 1969, University of California Press, menerbitkan satu buku yang menurut saya sangat penting: The Rope of God. Buku ini ditulis James T. Siegel, yang melakukan penelitian bertahun di Aceh. Awalnya saya mendapatkan catatan ini, dari buku Pokok-pokok Antropologi Budaya yang disunting seorang ahli antropologi hukum dari Universitas Indonesia, TO. Ihromi (1980). Buku ini, sudah saya baca sejak masuk ke Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), tahun 1996. Saya memiliki orientasi studi ke hukum dan masyarakat yang masih tersedia mata kuliah antropologi budaya di USK –saat sejumlah kampus sudah merasakan mata kuliah ini sudah tidak selaras di disiplin hukum. Mata kuliah ini sendiri, sekitar 20 tahun kemudian, di USK bergeser menjadi mata kuliah pilihan.
Dalam buku Pokok-pokok Antropologi Budaya ini, satu bagian The Rope of God itu diterjemahkan. “Children in the family”, demikian bab itu yang dalam bab 11 buku diterjemahkan sebagai “Anak –anak dalam keluarga”. Bersama sepuluh bab yang lain, tulisan ini hadir. Tulisan lain yakni “Perkenalan dengan antropologi” (Carol R. Ember dan Melvon Ember), “Konsep kebudayaan” (Carol R. Ember dan Melvon Ember), “Sejarah latar belakang penelitian etnologi” (Victor Barnow), “Teori dan metode antropologi budaya” (Carol R. Ember dan Melvon Ember), “Organisasi sosial: struktur masyarakat” (Melville J. Herskovits), “Penelitian lintas budaya mengenai kepribadian” (Victor Barnouw), “Antropologi terapan” (Carol R. Ember dan Melvon Ember), “Siklus hidup” (AB. Hudson), “Kerabat dan bukan kerabat” (Edward Bruner), dan “Lukisan anak-anak di Bali” (Jane Belo).
Setelah tsunami –26 Desember 2004—yang menghadirkan berbagai proyek rehabilitasi dan rekonstruksi, hadir satu lembaga yang memiliki perhatian khusus menyediakan dokumen-dokumen penting Aceh. Salah satunya, hasil penelitian ini: The Rope of God. Saya tidak ingin membahas masalah lainnya yang muncul terutama hak cipta. Ada orang atau pihak yang tidak sependapat semua dokumen penting, termasuk buku dan hasil penelitian, bisa dibagi oleh pihak lain untuk berbagai kepentingan. Ada mekanisme, walau untuk tujuan tertentu. Tapi saya yakin, lembaga-lembaga yang terlibat dalam rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh setelah tsunami, sudah menempuh berbagai keadaan itu. Terlepas bagaimana proses itu berlangsung, saya teruntungkan adanya akses ke bahan ini.
Kepentingan subjektif saya, yang utama karena saya sebagai bagian dari sejarah masyarakat yang diteliti. Dalam ilmu pengetahuan, terkait dengan usaha memahami dan memaknai berbagai hal dalam masyarakat, bukan sesuatu yang mudah dilakukan oleh orang yang berbeda budaya –bahkan berbeda keyakinan. Secara antropologis, ada proses panjang yang dilakukan hingga sampai pada titik ini. Kerumitan akan ditemui dalam berbagai tingkatnya. Kerumitan yang bagi peneliti juga sebagai satu proses belajar.
Dalam suatu riset, berbagai kerumitan yang dialami dan ditemukan peneliti, bukan sesuatu yang mudah untuk dituliskan. Apalagi untuk hal-hal tertentu yang agak sensitif. Orang-orang yang meneliti kehidupan lintas budaya, barangkali merasakan keadaan dan situasi ini. Kolega dan senior saya yang mengkaji antropologi, merasakan hal yang semacam ini. Dengan proses belajar, berbagai kerumitan terus meningkat dari satu titik ke titik lain, seiring dengan kemampuan melewatinya yang juga dari satu tahap ke tahap lainnya. Bukan kapasitas saya untuk menyebut kerumitan tersebut sebagai hambatan dalam pelaksanaan riset masing-masing peneliti.