Awalnya, kunjungan ke sini disebabkan karena rasa ingin tahu yang kuat. Penasaran. Ada hutan yang berusaha untuk dirawat secara manual, dengan sejumlah nama terkenal di dalam komunitas itu. Seperti harum semerbak dan mewangi. Keingintahuan itu, lalu ada solusi. Seorang teman yang bekerja di lembaga advokasi hutan adat, ada program pemetaan terhadap apa yang dinamakan dengan hutan adat. Dengan bertemunya dua kepentingan itu, sampailah saya di kawasan ini. Tentu saja saya bukan sendiri. Ikut dalam tim, Dr. Muhammad Adli Abdullah, dan Dr. Teuku Muttaqin Mansur.
Kunjungan ke tempat ini, bukan kali itu sebagai pertama. Untuk kepentingan yang berbeda, saya ke tempat ini sekitar empat atau lima kali. Bahkan jika sedang lewat, berusaha untuk masuk agar silaturrahmi tetap terjaga. Saya yakin perjuangan tidak hanya soal posisi manusia, melainkan harus didukung oleh semangat di dalamnya. Orang-orang yang datang untuk melihat hutan yang masih ada, akan berdampak pada semangat yang baik bagi masyarakat lokal. Dan semangat ini sendiri bisa diposisikan secara berbeda-beda dalam praktik. Terutama jika terjadi kasus tertentu, maka orang-orang yang datang bisa jadi akan menjadi pihak yang disasar keterangan dan kesaksiannya.
Saya mengunjungi Forum Penjaga Hutan dan Komunitas Harimau Pining, yang terletak di Mukim Pining. Bisa ditempuh dari Blangkejeren, dengan jalur khusus yang bisa tembus ke Aceh Timur. Saya sudah beberapa kali berharap bisa melihat secara langsung jalur tembus ini, namun belum tercapai hingga sekarang. Seperti jalan tembus dari Blangkejeren ke Babah Rot yang sudah sering saya lewati.
Jalan tembus yang ada, tidak bisa dilewati semua jenis kendaraan. Apalagi pada sejumlah titik menanjak yang terjal. Selain kapasitas kendaraan, harus didukung pula dengan kapasitas sopir. Tidak selamanya mobil bagus itu bisa dikendalikan dengan baik oleh semua orang. Mobil sederhana, saat dikendalikan pengemudi handal, suasana bisa jadi akan sedikit berbeda. Saya ingin katakan soal potensi ketercapaian yang sangat penting menjadi catatan.
Begitulah perjalanan berlangsung, hingga mencapai titik masuk hutan. Di gerbang, saya mendapat satu plang. Isinya tentang penegasan –dan catatan. Tertulis: “Uten Pining. Milik Orang Pining. Dilarang buka tambang sampai hari kiamat”. Apa yang menyebabkan masyarakat merasa harus melindungi hutan? Pertanyaan harus dijawab dengan rasa dan hati. Tidak mungkin bisa dijawab oleh semua orang. Kebutuhan sumber daya di satu sisi, dan pengelolaan berkelanjutan di sisi yang lain. Masa depan itu, menurut masyarakat lokal, harus dirawat dengan baik. Apa yang kita lakukan saat ini, akan kita pungut hasilnya nanti. Bisa jadi bukan kita, tapi anak cucu.
Begitu juga dengan dampak. Lingkungan yang dikelola semena-mena, dampaknya tidak selalu akan dirasakan generasi sekarang. Bisa saja anak cucu kita yang akan merasakan dan menikmati kehancurannya. Ketika semua kepentingan ini tidak bisa diselaraskan, kita akan klaim orang-orang yang menjaga hutan semacam orang yang dalam hidupnya sudah tidak berkebutuhan. Apakah logis ada orang yang justru menolak tambang padahal itu akan digunakan untuk manusia? Orang yang berusaha memanfaatkan, akan menggunakan istilah sejahtera untuk merasionalkan pilihan ini. Padahal hasilnya, kerap bertolak belakang. Ada masyarakat lokal yang cenderung merasa ingin berbuat lebih banyak dalam mempersiapkan masa depan generasi mereka. Saya menangkap demikian saat membaca apa yang ditulis di plang hutan Pining. “Uten Pining. Milik Orang Pining. Dilarang buka tambang sampai hari kiamat”.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.
[es-te, Rabu, 14 September 2022]