Negara Besar

Sejumlah orang –jika tidak mungkin disebut banyak—mulai meragukan keikhlasan negara-negara besar dalam menyelesaikan persoalan di bumi ini. Satu bumi yang kita tempati dengan berbagai kepentingan di dalamnya. Satu bumi yang juga manusia merebut berbagai hal …

Sejumlah orang –jika tidak mungkin disebut banyak—mulai meragukan keikhlasan negara-negara besar dalam menyelesaikan persoalan di bumi ini. Satu bumi yang kita tempati dengan berbagai kepentingan di dalamnya. Satu bumi yang juga manusia merebut berbagai hal yang ada di bawah tanahnya. Dengan penduduk yang bertambah secara signifikan, ditambah dengan kerakusan, yang diperkirakan kerusakan bumi berlangsung semakin parah setiap tahun.

Negara-negara besar dengan setiap menciptakan ketergantungan negara-negara kecil terhadapnya melalui berbagai program. Satu hal yang paling mengikat adalah mendayagunakan lembaga keuangan untuk memberi utang, dengan berbagai variasi suku bunga. Masalahnya tidak sebatas pada masalah utang-mengutang-piutang, namun perjanjian utang-mengutang-piutang itu ikut serta berbagai kepentingan lain di belakangnya.

Negara besar menjadi pihak yang paling besar kontribusi bagi perusak bumi. Lapisan ozon dipengaruhi oleh berbagai konsumsi dan keberadaan industri maju. Pada saat yang sama, mereka menuntut agar negara-negara yang masih hijau untuk mempertahankan keasriannya. Negara-negara yang tidak berhasil menjaga lingkungan –tentu dengan sejumlah bantuan yang diberikan—akan dikecam bahkan diperlakukan tidak semestinya.

Konsumsi pangan negara besar jauh meninggalkan negara kecil, padahal sebagian besar sumber daya pangan berasal dari negara-negara kecil. Setiap tahun, pangan yang membusuk dari yang disimpan di negara-negara maju sebagai lumbung penyimpanan, melebihi dari kebutuhan inti negara-negara miskin di dunia ini.

Negara-negara besar juga memiliki kenyataan tidak kalah menyedihkan dalam memperlakukan kaum minoritas –sesuatu yang oleh banyak orang digambarkan seolah sudah tidak masalah. Suku-suku asli menghadapi masalah yang sama, sebagaimana juga dihadapi oleh suku-suku asli di negara-negara sedang berkembang.

Bukankah semua hal di atas cukup untuk menggambarkan bahwa era ini terhidang adanya kerakusan? Belum lagi kemajuan teknologi yang mulai lahir sejak awal abad masehi, tidak diiringi oleh kekuatan spiritual sehingga menjadi ruang bagi kerakusan baru. Teknologi mempermudah manusia untuk menjalani hidup. Akan tetapi kemajuan teknologi juga, sering membuat manusia tidak memiliki penghargaan terhadap kemanusiaan.

Lalu, bukankah ada pendomplengan kata kemanusiaan? Bisa jadi. Jangan lupa sejarah berulang-ulang memperlihat suasana yang senada, yang berbeda mungkin tempatnya. Ketika Firaun meneguhkan seolah ada kekuasaan tiada tanding dalam dirinya, kemudian diikuti oleh pelaku-pelaku sejarah yang zalim. Sekarang kita sedang melihat dan menunggu proses sejarah baru yang dilakukan oleh generasi yang baru, dalam berbagai bentuknya yang baru.

Prosesi sejarah ini berlangsung dengan proses penyeimbang juga. Ketika senjata digunakan untuk menghancurkan kemanusiaan, maka muncul inisiatif untuk menggunakan senjata untuk melindungi kemanusiaan –dengan senjata. Seperti menggerakkan kampanye antiperang dengan menggunakan barisan tank tempur dan lapis baja. Berbagai temuan lalu diklaim sebagai proses untuk kebaikan, namun beriringan dengan itu, ada perlombaan untuk menggunakan sebaliknya. Di sela-sela itu, dunia memproyeksikan apa yang disebut dengan proyek kebaikan ketika memberi penghargaan tertentu kepada mereka yang berjasa terhadap hal tertentu bagi umat manusia.

Ada ruang kehampaan antara keharusan dengan kenyataan.

Leave a Comment