Dalam dunia ilmu, tidak bisa seorang yang menekuni bidang tertentu lalu mengklaim bahwa bidang lain tidak penting. Tidak boleh bagi seorang penekun ilmu menganggap di luar kajiannya sebagai sesuatu yang tidak penting. Itulah antara lain yang saya tangkap adanya perbedaan bidang ilmu yang ada di dunia ini. Jika dunia satu ragam, maka sungguh tidak mungkin ada pembagian ilmu yang sedemikian rupa. Pembagian ini akan menjalar ke tingkat yang lebih rendah, di mana masing-masing ilmu terbagi lagi kedalam bagian-bagian lebih kecil dari ilmu. Tak heran, perguruan tinggi yang hadir dan didirikan, selalu ragam ilmu di dalamnya.
Hal itu juga yang saya tangkap dari pembagian ilmu yang dilakukan United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (Unesco) –organisasi internasional berada di bawah perserikatan bangsa-bangsa (PBB) yang bergerah dibidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Unesco didirikan pada tanggal 16 November 1945 dengan tujuan membangun perdamaian melalui kerja sama internasional, bidang Pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya. Dengan demikian, apa yang menjadi domain, pada akhirnya turut andil dalam menentukan berbagai hal lain di dunia ini.
Lembaga ini, pada awalnya menentukan tiga ilmu penting di dunia ini, yakni ilmu sosial, ilmu alam, dan ilmu humaniora. Pembagian ini antara lain sudah berlangsung sejak 1985. Pembagian ini sendiri ada pro dan kontra. Bagi yang kontra, berpikir seolah begitu bisa disederhanakan apa yang disebut sebagai ilmu tersebut. Sepanjang perkembangan ilmu sendiri, juga terus-menerus dipertanyakan dan diperdebatkan. Ia didiskursuskan tiada henti. Tiga bidang ini, ada yang mengggap sangat Barat-sentris, dan tidak menampung varian lain terkait dengan ilmu –salah satunya misalnya terkait dengan ilmu agama. Tapi dalam filsafat ilmu sendiri, kritik terhadap cara melihat ilmu itu sendiri terus berlangsung. Antara lain bagaimana seolah-olah cara pandang Barat sangat menentukan dalam konsep ilmu bagi dunia lain.
Hal yang ingin saya ceritakan bahwa ilmu terus berkembang dan tidak sempit. Tidak bisa semena-mena ada orang yang mengklaim ilmunya saja yang harus dihormati. Makanya, sekali lagi, perguruan tinggi selalu muncul dalam berbagai variasi ilmu. Karena variasi ini pula, ketika berbicara ilmu, tidak mungkin hanya dibahas oleh satu atau dua program studi saja yang secara kongkret wujudnya ada di perguruan tinggi. Malah Unesco menyasar sektor yang semakin luas, mencakup Pendidikan, ilmu pengetahuan alam, ilmu sosial, budaya, dan komunikasi dan informasi.
Ilmu ini demikian kompleks dan tidak sederhana. Ketika ada orang yang menyederhanakan ilmu, dan tidak berusaha memahami ilmu yang ditekuni orang lain, orang seperti itu sama seperti tidak berilmu. Dalam realitas, gelar yang diperoleh, tidak selalu sejalan dengan bagaimana cara pandang seseorang terhadap ilmu. Menurut saya, itu dua hal yang berbeda.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.