Akademisi seharusnya memiliki sensitivitas berbeda dengan seseorang yang bukan akademisi. Ketika melahirkan suatu kebijakan, hatinya bermain dan selalu penuh pertimbangan. Tidak suka-suka. Tidak main paksa. Bukan karena asal berani. Tidak berdasarkan emosi, tapi pertimbangan keilmuan yang seharusnya selalu menjadi pertimbangan dalam memutuskan sesuatu. Pertimbangan keilmuan inilah yang membedakan seorang akademisi dengan seorang harlan.
Secara ideal, tidak boleh ada ciri dan ruang pemaksaan kehendak dari seorang akademisi. Idealnya begitu. Selain itu, selalu memahami apa yang disebut sebagai proses. Dunia Pendidikan yang dilakoni para akademisi, adalah dunia yang bertumpu pada proses. Menekuni para proses ini yang menjadi kunci penting dalam menjalankan profesinya.
Dalam lingkup profesi, akademisi sebenarnya sama saja dengan profesi yang lain. Namun khusus untuk domainnya, ada perbedaan karena perbedaan konsep. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akademisi itu orang yang berpendidikan tinggi; anggota akademi. Dalam profesi yang lain, tidak selalu ada dan harus berpendidikan tinggi. Sedangkan di dunia akademis, wajib ada. Pendidikan inilah yang membedakan seseorang di mana ia sudah berproses dalam dunia Pendidikan untuk hidup secara akademik.
Sejumlah hal itulah yang kemudian akademisi ini memiliki rasa tersendiri dalam melakukan sesuatu. Dalam dunia pendidikan, perspektif tentang rasa juga ada kajiannya tersendiri. Rasa, memiliki kajian sendiri yang lebih rumit. Dalam kamus, perasaan itu yang berasal dari asal kata rasa, bermakna sangat luas. Paling tidak ada lima makna: (1) tanggapan indra terhadap ransangan saraf, seperti manis, pahit, masam terhadap indra pengecap, atau panas, dingin, nyeri terhadap indra perasa; (2) apa yang dialami oleh badan; (3) sifat rasa suatu benda; (4) tanggapan hati terhadap sesuatu (indra); (5) pendapat (pertimbangan) mengenai baik atau buruk; salah atau benar. Contoh kongkret, antara lain realitas masyarakat akademis yang dianggap orang lain sebagai bermoral lebih karena selalu menggunakan pertimbangan akademis dalam perilakunya. Benarkah begitu?
Makanya dalam dunia akademik, orang-orang yang tidak sensitif terhadap dunianya, digolongkan sebagai orang yang tidak memiliki rasa. Mate rasa. Kondisi orang yang sampai pada posisi semena-mena, tidak mau rumit diatur dan dikendalikan oleh aturan main.
Kajian saya dibidang hukum, sebagian pergulatan terkait dengan rasa ini. Ia tidak selalu mudah dilukiskan. Seseorang yang dihukum karena menghilangkan nyawa orang lain, tidak bisa dianggap sebagai ruang untuk mengembalikan apa yang hilang dari orang-orang yang kehilangan nyawanya. Tapi sebagai bagian dari ruang hukum dalam menormalkan apa yang disebut sebagai rasa yang tadi.
Orang-orang hukum seharusnya mampu menyelami sesuatu tindakannya yang akan menimbulkan rasa bagi orang lain. Rasa sakit hati. Kecewa. Dan sebagainya.
Itulah dunia akademisi, yang dalam realitas kadangkala akademisi pun tidak mampu memiliki rasa. Mate rasa. Jika di luar akademis sikap semena-mena ditemukan, belum tentu di dunia akademis hal itu tidak berlangsung.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.