Ketika menyebut kampus, saya selalu menitipkan untuk tidak boleh melupakan akuntabilitas. Saat orang luar kampus, beranggapan bahwa kampus sebagai barometer moral, sesungguhnya mencerminkan tentang akuntabilitas yang dibayangkan tersebut ada di dunia kampus ini. Tindak-tanduk dan prilaku orang kampus dianggap selaras dengan kepentingan yang tidak berpihak dalam makna luas. Orang kampus dianggap selalu bisa menjaga diri dalam pengambilan suatu keputusan. Maka keputusan yang lahir, selalu dibayangkan sebagai keputusan yang adil bagi siapa pun.
Itulah yang saya maksud sebagai ilmunya orang kampus. Pada posisi ideal ini, banyak orang yang belajar dari kampus. Dalam hal apa pun, kampus dianggap sebagai tempat merujuk. Seiring dengan perkembangan zaman, kondisi ini saya kira juga berubah. Apa yang disebut sebagai ilmu kampus, kemudian berubah. Pola yang dilakukan orang kampus tidak lagi dalam ranah akademikus, menyebabkan orang sudah menemukan realitas yang sebaliknya.
Seperti juga komponen yang lain, orang kampus tidak bisa lagi memberi jaminan akuntabilitas dalam kebijakan dan kebijaksanaannya. Akuntabilitas ini berkaitan dengan akuntabel. Kedua istilah ini, pada dasarnya berasal dari dunia bisnis. Keduanya berkait dengan suatu kondisi yang bisa dipertanggungjawabkan. Seseorang yang melakukan sesuatu, apa yang dilakukan itu bisa dipertanggungjawaban proses dan hasilnya. Dalam realitas sederhana, seorang anak yang diberikan uang Rp5 ribu oleh orang tuanya diminta bantu beli beberapa ons cabe, maka sepulang dari sana, anak ini harus mempertanggungjawabkan jumlah yang dengan barang yang dibeli. Baru bisa disebut akuntabel saat anak itu bisa mempertanggungjawabkan jumlah uang dan cabenya.
Apalagi urusan cabe yang bisa jadi sangat sederhana. Kampus seharusnya bisa melakukan lebih dari sekedar itu. Kampus menjadi cermin bagi orang lain dalam memahami bagaimana akuntabilitas itu berlaku dan berlangsung. Dalam dunia kampus, seharusnya suatu hal yang tidak akuntabel, tidak bisa dipertanggungjawabkan prosesnya, itu akan mengulangi prilaku abad gelap yang penguasa tidak peduli terhadap orang yang dikuasainya. Padahal dalam realitas kekinian, konsep kuasa juga terus berubah. Orang yang berkuasa tidak dimaksudkan sebagai upaya untuk menzalimi orang lain, melainkan memberikan pelayanan orang terbaik bagi orang-orang yang dikuasainya.
Abad modern dan sesudahnya, post-modern, orang-orang yang mengajukan diri sebagai penguasa, didasari oleh kesadarannya untuk melayani orang lain. Bukan menguasai orang lain. Gambaran ini, bukan pula ingin meneguhkan bahwa seolah hanya Barat yang memiliki konsep demikian. Dalam dunia Timur dan Islam, perkembangan konsep kuasa dan pelayanan juga ideal, walau dalam realitas kadangkala juga ditemui prilaku sebaliknya.
Saya hanya ingin mengingatkan betapa kampus itu seharusnya sebagai rumahnya para orang yang menjamin akuntabilitas. Bukan rumah yang berprilaku semena-mena dan tidak terukur. Tidak boleh melakukan sesuatu yang bahkan berakibat menyakiti orang lain –yang dalam konteks kampus mereka yang berbeda kajian dan disiplin keilmuan dengan kita.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.