Konon, bagi sebagian orang, dalam keadaan konflik sekalipun, masih bisa meneguk untung. Peneguknya bisa berbagai macam. Membuka lembaran masa lalu, bahkan sebelum negara ini merdeka, para pemain itu terdiri dari berbagai latar belakang. Orang pandai, pejabat tinggi, kaum pejuang, bahkan militer sekalipun, bisa melakukan banyak hal pada era perjuangan kemerdekaan. Orang yang memiliki rumus bermain, akan mudah mendapat untung. Kebanyakan, merasakan kepedihan tiada tara.
Membaca sejumlah buku kritik perang, khususnya terkait perang Aceh, tampak bahwa dalam sebuah perang tidak hanya berbasis pada taktik bagaimana memenangkan pertempuran di lapangan. Pejabat sipil dan militer saling memiliki kepentingan tersembunyi.
Dari berbagai buku ini pula, memberi sinyal akan perulangan yang terjadi sepanjang sejarah konflik, bahkan konflik setelah kemerdekaan. Orang-orang dalam konflik apapun, tetap ada yang bisa meneguk untung, di tengah kondisi orang yang menahan derita. Tidak masa lalu tidak masa kini.
Mari kita membuka sejumlah catatan. Kepentingan Snouck Hurgronje terhadap Aceh, salah satunya. Lebih dari sekedar penting. Aceh, baginya, sepertinya sangat berharga, tidak hanya dari sisi penyelidikan, tetapi keuntungan politik dengan mendayagunakan hasil penyelidikannya. Dari Leiden, 14 Desember 1908, ketika hampir tiga dekade perang di Aceh, ternyata kemenangan perang belum membuahkan hasil sempurna. Aceh terus bergolak. Masalah tak juga selesai, walau masa Snouck tinggal di Hindia Belanda, sudah selesai.
Tanggal 14 Desember, Snouck mengungkapkan kegelisahannya terhadap Menteri Daerah Jajahan. Sebelumnya ia sudah mengirim pada tanggal 5 Desember. Ia gelisah dengan “kegelisahan” Jenderal Van Daalen. Sebagai militer, Daalen mempertanyakan mengapa masukan Snouck tak juga membuahkan hasil. Konflik Aceh itu tidak juga selesai. Sebagai militer, yang di lapangan para tentaranya mengisi posisi paling depan dalam setiap perang, ia ingin secepatnya diselesaikan. Sebaliknya, para penasehat, terkesan berlambat-lambat. Ingin melakukan penyelidikan lebih lama.
Hal terakhir adakah posisi Tuanku Muhammad Daud yang berhasil ditangkap. Menurut Daalen, seharusnya, masalah sudah selesai. Namun di lapangan, ternyata tidak demikian. Menjawab kegelisahan ini, Snouck menganjurkan mereka yang di lapangan untuk membuka kembali bukunya, De Atjehers, Jilid I, halaman 148. Katanya, ia sudah menjelaskan betapa pentingnya pengaruh yang dapat diperoleh seorang Sultan Aceh, meskipun wangsanya sudah merosot sekali. Sultan tak mudah kehilangan pengaruh. Ada satu cara, militer harus mengerasi rakyat agar meninggalkan pengaruh sultannya.
Dengan alasan yang disebut terakhir, dengan menggunakan jurus mabuk, Snouck menyalahkan Jenderal Van Heutsz, yang tidak dengan keras memotong pengaruh ini. “Tidak seorang pun yang menghentikan perlawanan itu atas perintah tuanku tersebut,” kata Snouck, dan targetnya tidak lain, Heutsz.
Peta penguasa kerap berubah, yang penyebabnya bisa berbagai macam. Masalah terpenting, adalah tidak selesainya pergolakan. Kondisi ini yang membuat gusar seorang Belanda lainnya, Paul van’t Veer. Dalam bahasa yang gamblang, Veer yakin, kegagalan Belanda tidak selalu karena mereka yang di lapangan. Ada orang lain yang berperan di luar layar. Salah satu yang sangat penting dalam kebijakan Belanda terhadap jajahan di Aceh dan Hindia Belanda adalah Snouck.
Awal abad ke-20, ia menggugatnya melalui bukunya, De Atjeh-Ooorlog. Di halaman awal buku, dua pertanyaan penting yang mungkin lahir dari lubuk jiwanya, mempertanyakan perang Aceh untuk dua pihak yang berbeda. Pertama untuk militer. Pertanyaan Veer, apakah perang di Aceh itu sudah dilakukan dengan benar? Kedua untuk mereka yang memberikan nasehat, pertanyaan Veer, apakah perang di Aceh itu dapat dibenarkan.
Dua pertanyaan itu, bagi Veer, di satu pihak ingin membela bahwa tidak semua kesalahan harus ditanggung tentara yang di lapangan. Ia juga ingin menegaskan ada kesalahan lain yang dilakukan penasehat, yang menyebabkan perang Aceh bagi Veer, gagal total.
Catatan ini seyogianya dipergunakan sampai kapanpun untuk tidak menjadikan kepentingan dalam melakukan sesuatu. Apalagi saat melakukan tugas dan peran besar.