Generasi muda harus mencerna segala sesuatu yang diterima. Istilah generasi milenial yang digambarkan dengan perkembangan informasi dan komunikasi yang luar biasa. Dengan bantuan alatnya yang menyebabkan perputaran informasi begitu cepat. Kondisi harus membuat siapapun lebih matang. Menerima atau melakukan transfer informasi apapun harus melakukan cek dan ricek terlebih dahulu.
Untuk informasi yang jamak dipakai, orang lebih mudah ikut serta. Walaupun salah, untuk informasi yang disukai oleh umum, biasanya cenderung tidak muncul protes atau semacamnya. Sedangkan untuk informasi yang menimbulkan antipati, walau tingkat kebenaran tinggi, sering tidak menjadi pilihan banyak orang.
Di sinilah perlu kematangan dalam menentukan segala sesuatu yang akan diteruskan atau tidak. Pertimbangan yang seharusnya pada benar dan salah, bukan pada banyak orang yang setuju atau sedikit. Benar atau tidak dengan setuju atau tidak, adalah dua konteks yang berbeda.
Generasi tidak boleh latah untuk mencampuradukkan keduanya. Termasuk dalam penggunaan kata-kata yang berpotensi tidak tepat, namun karena sudah digunakan banyak orang, seolah menjadi tepat.
Salah satu istilah yang selama ini berkembang dan cukup menarik pada sebagian intelektual, terkait dengan bagaimana menjalankan agama, adalah fundamental. Kata fundamental ini, dalam kamus bahasa, diartikan dengan “berifat dasar (pokok), atau mendasar. Contohnya iman yang merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Orang beriman, adalah orang yang sangat fundamental, dari segi makna ini.
Lalu muncul istilah yang terkait dengan “isme”, menjadi fundamentalisme. Dalam kamus bahasa, istilah fundamentalisme dimaksudkan sebagai paham yang cenderung untuk memperjuangkan sesuatu secara radikal. Dalam kamus, -isme adalah sufiks (afiks yang ditambahkan pada bagian belakang kata dasar, misalnya an, kan, dan i –akhiran) pembentuk nomina, yakni sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi. Dicontohkan seperti terorisme, liberalisme, komunisme, dll.
Ada makna yang berubah. Istilah “fundamental” dengan “fundamentalisme”, memiliki maksud yang berbeda, walau berasal dari asal kata yang sama, fundamen.
Maksud ini pada dasarnya seperti kata “radikal” yang disebut di ujung makna kata “fundamentalisme”, berupa kata-kata “memperjuangkan sesuatu secara radikal”. Radikal di sini, berdasar kamus, adalah: (1) secara berdasar (sampai kepada hal yang prinsip); (2) amat keras menuntut perubahan; (3) maju berfikir atau bertindak.
Ketika istilah radikal ditambah dengan isme, menjadi radikalisme, makna menjadi bergeser jauh sekali. Radikalisme bermakna: (1) paham atau aliran yang radikal di dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau perubahan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik.
Tentu, dalam ilmu bahasa, mungkin ada proses dan mekanisme perubahan tersebut. Dan hal tersebut harus dibedah oleh mereka yang mempelajarinya. Namun secara catatan penting, mengenai bagaimana proyeksi dari konsep yang terbangun, itu akan menampung kepentingan siapa dan dalam hal apa?
Barangkali untuk menemukan itu tidak terlalu sulit. Bagaimana kata itu direproduksi dan dalam hal apa saja ia digunakan, maka maksud tersembunyi di dalamnya dengan mudah didapat. Siapa yang selama ini sangat gencar menggunakan kata itu dan untuk kepentingan apa? Maka dengan sendirinya akan terjawab. Salah satu wajah penggunaan itu, adalah untuk menciptakan ketakutan baru agar orang yang beragama tidak kuasa sepenuhnya mencapai hakikat yang sebenarnya. Seseorang yang ingin beragama secara holistik, tidak memisah-misahkan antara masing-masing urusan, dengan mudah mendapat stigma yang begini rupa.
Ini menyangkut stigma yang mudah sekali ditabal. Dalam kamus bahasa, stigma itu sebagai ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungan, atau tanda. Ada orang yang menyangkut bagaimana cara orang menjalankan agama, dikesankan dengan menakutkan. Sebaliknya, sangat bahagia dengan orang-orang yang berperilaku tidak jelas, dan mengritiknya dianggap sebagai penganut ajaran fundamentalisme.
Orang-orang yang menjalankan ibadahnya dengan sempurna, tidak bisa disebut radikal atau bahkan tidak toleran. Orang hanya karena lebih menjaga waktu shalat dibandingkan mendengar pidato pejabat, tidak bisa disebut sebagai anti toleran. Inilah contoh generasi harus menempatkan sesuatu pada tempatnya.