Bulan rabiul awal, memiliki makna khusus. Ia diperingati juga secara khusus. Khususnya di Aceh. Ada sejumlah kegiatan biasanya dilakukan mengiringi maulid. Di samping acara makan bersama, biasanya diiringi dengan ceramah agama. Dalam ceramah ini, diceritakan kembali perjalanan hidup Rasul Allah. Memasuki rabiul awal, kita selalu dihidangkan dengan perjalanan Rasul, baik secara pribadi melalui akhlak, maupun dalam konteks bagaimana agama Islam ditegakkan. Sayangnya tidak semua orang meresapi perjalanan hidup demikian. Banyak di antara kita yang justru melakukan hal-hal yang dilarang oleh Rasul. Betapa kemaksiatan yang semakin hari semakin merajalela. Banyak orang yang sudah tidak mengindahkan cara hidup Rasul. Belum lagi munculnya orang-orang yang menelikung ajaran-ajaran Rasul. Tanda akhir zaman semakin tampak, antara lain dengan semakin berani orang-orang mengklaim sebagai orang-orang pilihan akhir zaman.
Seyogianya setiap rabiul awal menjadi ruang refleksi bagi kita umat Islam untuk meneguhkan kehidupan sebagaimana dijalani Rasul. Ketika kita menyatakan bahwa kita cinta Rasul, maka segala hal yang dituntun akan kita ikuti. Bahkan kita akan merasa marah ketika Rasul dihina dengan berbagai cara oleh manusia zalim akhir-akhir ini. Dengan demikian, perayaan maulid sama seperti merefresh, atau menyegarkan kembali. Posisinya adalah menguatkan sesuatu yang seharusnya sudah kita lakukan selama ini. Jadi bukan sekedar merayakan, lalu terlupa begitu saja.
Lantas mengapa kenduri? Hal ini juga ada sejumlah pendapat di kalangan umat. Saya menganggap secara sederhana, bahwa kenduri pada dasarnya sebagai hajatan untuk memuliakan banyak orang yang merayakan hari lahir Rasul. Kenduri ini seyogianya dilakukan dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh mereka yang sudah tidak memiliki keluarga, atau mereka yang berkehidupan lemah. Kenduri pada dasarnya dilakukan dengan menjamu orang-orang yang membutuhkan.
Itulah pesan yang sesungguhnya bisa ditangkap, bahwa orang seyogianya berlomba-lomba untuk menjamu anak yatim atau mereka yang fakir miskin. Konteks menjamu dan memperhatikan ini juga tidak berhenti pada hari tertentu saja, melainkan terus-menerus harus mendapat perhatian umat. Tidak boleh membiarkan anak yatim tidak mendapat perhatian yang cukup, atau mereka yang fakir miskin tidak mendapatkan kebutuhan intinya. Fakir miskin demikian bukan mereka yang diantar dengan becak tiap pagi lalu menengedah tangan lalu mereka naik kembali ke becak dibawa lagi entah kemana. Bukan fakir miskin yang dalam konteks proyek dan bahan program, yang angkanya dibutuhkan dalam utak-atik anggaran. Orang-orang yang terlibat dalam hal-hal demikian, suatu saat akan mendapatkan ganjaran setimpal.
Di luar konteks itu, dalam masyarakat lokal kita, sesungguhnya ada pesan lain yang bisa ditangkap, yakni pada memupuk dan memperkuat nilai-nilai persaudaraan. Even tertentu, secara sosial, ada banyak tujuan. Dengan even tertentu, menjadi ruang bagi internalisasi nilai-nilai dalam masyarakat. Pada saat yang sama, dengan adanya pertemuan membuat orang bisa saling bersosialisasi satu sama lain. Orang tidak merasa asing dengan sesamanya. Bahkan tidak terjadi orang-orang yang tidak mengenal tetangganya sendiri.
Bukankah banyak kegiatan agama juga tidak terlepas dari kepentingan sosial? Tidak jarang untuk merekat berbagai hubungan di dalam lalu-lintas sosial itu, juga digunakan perangkat budaya. Dalam perjalanannya itu, kekayaan budaya juga memiliki tafsir tersendiri. Ada sejumlah ruang budaya dianggap tidak sejalan dengan ruang agama, dengan demikian pelan-pelan ruang budaya menyesuaikan diri. Bahkan dalam masyarakat kita, hingga saat ini masih dianggap bahwa aktivitas apapun, nilai agama yang menjadi alat ukur semua aktivitasnya.