Orang Besar

Ada yang mengira, seolah ketika seseorang sudah menjadi besar, dalam arti kapasitas secara politik, ekonomi, atau sosial budaya, di atas rata-rata, akan membuatnya tidak lagi bersosialisasi dengan orang lain. Pada posisi demikian, dianggap orang sudah …

Ada yang mengira, seolah ketika seseorang sudah menjadi besar, dalam arti kapasitas secara politik, ekonomi, atau sosial budaya, di atas rata-rata, akan membuatnya tidak lagi bersosialisasi dengan orang lain. Pada posisi demikian, dianggap orang sudah banyak membatasi diri dengan orang-orang sekitar.

Dugaan ini didukung oleh adanya semacam standar berkomunikasi, dan semacamnya, dari orang-orang besar dengan orang lain. Padahal ini bisa diubah. Seketat apapun, masih memungkinkan untuk melakukan komunikasi dengan orang banyak. Selama ada kemauan, hal itu memungkinkan dilakukan.

Padahal yang terjadi tidak selalu demikian. Ada orang yang penting, namun masih bisa bersosialisasi. Bahkan orang-orang besar ada yang secara bersahaja, ketika berhubungan dengan orang-orang sekitarnya. Pengalaman demikian pernah kita alami dalam kesempatan tertentu.

Termasuk saya. Suatu kali, ketika pulang dari Jakarta, sedang menunggu jadwal kereta api, saya bertemu dengan seseorang yang sangat saya kagumi komentar-komentarnya. Perjumpaan ini, tidak terduga sama sekali. Malam itu, saya berjumpa dengan seorang profesor doktor itu.

Wajahnya sering sekali saya lihat dalam wawancara di televisi. Dalam berbagai hal yang terkait dengan penguasa, biasanya profesor ini dijadikan narasumber. Sejauh yang saya dengar dari komentarnya, walau sering juga dipakai untuk berbagai tim, namun apa yang dikatakan selalu kritis dan enak. Tidak ada jiwa menggurui, walau berhadapan dengan narasumber yang sesekali tidak paham masalah. Sekiranya memiliki waktu yang cukup, ternyata siaran tentang wawancara di televisi, baik langsung maupun tidak langsung, kita perhatikan tidak jarang ada narasumber kacau. Antara komentar dengan koreksi tidak bisa membedakan. Malah ada yang konteks pembicaraan saja tidak fokus dan terkesan tak menguasai masalah. Akan tetapi karena harus ada narasumber dan orang yang berkomentar berani, maka dianggap cocok saja.

Berbeda dengan orang yang satu ini. Bertahun-tahun ia paham dengan apa yang dikomentari. Saya juga ikut beberapa bukunya tentang hak asasi manusia dan penyelenggara negara yang sangat menarik. Bukankah berjumpa dengan orang sepenting ini, seperti mendapat setumpuk rezeki yang tidak terduga?

Ketika sedang menunggu jadwal kereta, saya duduk di satu barisan kursi yang terletak di belakang tiang besar stasiun kereta. Bangku itu terdiri atas empat tempat. Tiga sudah terisi, hanya di samping saya, persis ada satu kursi tersisa. Seorang yang sudah tua, tiba-tiba datang dengan senyum mengembang, memulai dengan memohon maaf, menanyakan apa di samping saya ada yang duduk. Saya memperhatikan senyumnya yang tulus. Saya persilakan beliau duduk.

Pelan-pelan ia letakkan –mungkin televisi—di samping tempat duduknya. Senyumnya tiada henti seraya tangannya mengajak bersalaman. Ia mulai berbicara dengan hangat, “saya mau ke Yogyakarta”. Sebelum saya sempat menyambung, ia meneruskan, “istri saya sedang di Yogyakarta, menemani cucunya, karena ibunda mereka meninggal sebulan yang lalu”. Saya jawab, “semua milik Allah pak,” dan ia menjawab “terima kasih”.

Entah kenapa, saat itu, saya katakan ke beliau: “Mohon maaf pak, saya sering melihat bapak di televisi. Wajah bapak tidak asing bagi saya. Tetapi mohon maaf, saya ingin mengingat dulu nama bapak, jangan sebut dulu”.

Permintaan saya ini membuatnya tersenyum semakin sumringah. Giginya yang masih putih –walau umurnya sudah tua—terlihat. “Saya dari ujung pak,” kata saya cepat. Lalu, ia menyebut banyak nama aktivis dari sana yang semuanya saya kenal. Langsung namanya bisa saya tebak. “Syukur sekali pak saya mendengar bapak secara langsung”.

Beliau yang lebih dahulu menyerahkan nomor kontak. Belum sempat saya ungkap, “betapa tidak ada kepalsuan antara ketika di televisi dengan berjumpa”. Petugas kereta sudah memanggil, “bapak/ibu, kereta menuju stasiun akhir Yogyakarta sudah ada di jalur satu”.

Orang-orang besar, bagi saya bisa saja berperilaku secara bersahaja. Tidak dibuat-buat. Lalu merasakan dan melakukan perjalanan sebagaimana orang biasa yang melakukan perjalanan. Seharusnya, orang-orang yang merasa tidak besar, dapat bersahaja lebih dari itu.

Leave a Comment