Seorang guru saya pernah mengingatkan bahwa otak kita itu seperti berkamar-kamar. Apa yang akan disimpan seperti akan diletakkan dalam kamar-kamar itu. Berbagai hal yang pernah kita kerjakan dan pikirkan, kemudian bisa terpilah-pilah sedemikian rupa.
Berbagai pilihan aktivitas yang dilakukan, turut ditentukan oleh bagaimana kamar-kamar itu difungsikan. Tidak semua orang mampu membagi dan memilah. Kebanyakan orang tidak berdaya untuk menyelesaikan secara berurut apa yang hendak diselesaikan.
Ada orang yang mampu mengatur dan memberi porsi lebih awal hal yang akan diselesaikan. Dengan demikian, semua aktivitas terlaksana, dengan proses yang berlangsung dari tahap ke tahap.
Saya memiliki beberapa teman diskusi tentang menulis. Mereka dari berbagai umur, strata sosial, dan profesi. Dalam kesempatan demikian, tujuan kami sebenarnya terkait agar bisa menulis. Jadi kami duduk di suatu tempat, mendiskusikan bagaimana caranya agar semua kami itu bisa menulis.
Dalam hal ini, yang dimaksudkan menulis tidak dalam hal belajar seperti anak-anak sekolah taman kanak-kanak diperkenalkan huruf untuk menulis. Menulis dalam konteks ini terkait dengan merangkai kata, yang tujuannya berbagai macam. Ada orang yang ingin bisa menulis laporan kerja. Orang-orang yang melaksanakan entah program apa, sering kesulitan ketika mau melaporkan programnya. Ada orang yang diperintahkan untuk melakukan kunjungan kerja entah kemana, berangkat dengan sumringah, lalu merasakan duka karena pimpinan memerintahkannya untuk melaporkannya hasil kunjungan kerjanya secara tertulis. Mahasiswa yang di semester awal juga gembira, tetapi ketika di semester akhir, ketika berhadapan dengan masa menulis karya ilmiah, merasakan duka –yang katanya tiada tara. Ada anak yang ingin bisa menulis di suratkabar, entah opini, cerita pendek, atau puisi. Ada orang yang ingin terkenal ingin menulis novel tebal, karena biasanya –katanya—penulis novel selain terkenal, juga akan mendapatkan banyak uang.
Teman diskusi saya dalam belajar menulis, masalah yang dihadapi tidak bergeser dari fakta-fakta itu. Dengan tuntutan pekerjaan yang berbeda, belajar menulis ingin mencapai salah satu dari sekian tujuan yang diungkapkan di atas.
Ada sesuatu yang menarik dalam perjalanannya. Ketika berdiskusi kami yang sama-sama dalam proses belajar menulis, semua kami memiliki sekian alasan. Sepertinya sudah saling mempersiapkan dari rumah. Misalnya kalau ditanyakan kapan akan memulai menulis, maka jawabannya secara teratur alasan a hingga z. Mulai kesibukan mengurus tugas, tiada waktu karena belajar, hingga sibuk di berbagai kedai dan warung kopi.
Salah satu mahasiswa mendiskusikan resep bagaimana ia menyelesaikan skripsinya. Masalah yang ia hadapi, sebagian besar adalah mengenai waktu. Saya memintanya menulis agenda hariannya selama ini. Dan bagi saya mencengangkan, ketika ia bilang waktu yang kurang, dalam agendanya, sebagian besar waktunya justru dihabiskan tidak di meja belajar, melainkan di warung kopi. Entah bagaimana ia bisa mempertanggungjawabkan penggunaan waktunya tersebut. Dalam 24 jam sehari-semalam, waktu terbesar habis untuk memuaskan kita pada hal-hal yang kurang penting. Bisa dibayangkan, seorang mahasiswa yang mengaku sedang kesulitan menulis skripsi, namun dalam 24 jam, hanya 4 jam untuk tidur, selebihnya 2 jam saja untuk kebutuhan kuliah dan skripsi, sisanya dihabiskan di warung kopi.
Mahasiswa ini tidak bisa bersandar pada alasan bahwa hambatan terbesar dalam menyelesaikan skripsi adalah kesulitan menulis. Terlalu banyak waktu yang disia-siakan dan tidak digunakan untuk menuntaskan alasan kesukaran menulis itu. Ia bilang sukar menulis pada saat ia tidak menggunakan waktu untuk belajar melawan kesukaran itu.