Sesuatu yang ideal, harus diperjuangkan untuk dicapai. Tidak selalu butuh energi yang besar untuk mencapai yang ideal itu. Namun sebaliknya, kadangkala orang menghabiskan banyak energi untuk sesuatu yang tidak ideal. Coba dibayangkan, betapa banyak kebutuhan orang untuk mendapatkan sejumlah hiburan buruk.
Untuk hal yang buruk dicari-cari, malah orang saling mengeluarkan modal untuk mendapatkannya. Orang yang memberi jalan baik, sulit mendapatkan modal yang cukup. Orang-orang harus berusaha keras mendapatkan modal untuk sesuatu yang baik.
Begitu juga dengan yang baik itu, ia bisa didapatkan di banyak ruang. Perbuatan baik bisa dilakukan kapan saja, dan di mana saja tersedia. Orang sering memilih tidak melakukannya. Dalam kondisi yang normal sekalipun, berbuat baik yang mudah itu, bahkan sering dilewatkan begitu saja.
Mungkin kita masing-masing pernah merasakan pengalaman terlambat berangkat ke tempat kerja. Semuanya, karena sudah menjadi rutinitas, telah kita siapkan setiap pagi. Bangun pagi pada jam sekian, lalu membersihkan diri, shalat subuh, mengerjakan beberapa pekerjaan rumah, lalu berangkat. Rutinitas tersebut, sudah kita atur sedemikian rupa. Namun tak jarang, dalam kenyataan, berbagai hambatan menghadang. Mulai dari bangun, kadangkala terlewat dari rencana. Alarm yang dipasang, seperti kehilangan fungsi. Bunyinya seperti tak terdengar. Penyebabnya mungkin juga sederhana. Pulang terlalu larut karena entah ada pertemuan apa pada malamnya. Lalu semua merasa imbas dari keterlambatan tersebut.
Ketika ke luar rumah, ternyata orang yang merasakan hal ini tidak hanya kita. Ada berbagai orang yang juga mengalami hal yang serupa. Malam, karena ada janji dengan teman atau kerabat, atau terlambat menyelesaikan persoalan kantor, dan sebagainya. Menyebabkan terlambat tidur hingga terlambat bangun. Terlambat bangun pagi berimbas pada keterlambatan lainnya. Secara beruntun. Nah ketika keluar rumah itulah, di jalan, orang yang mengalami hal yang sama berjumpa dengan berbagai polah. Kita bisa merasakan bagaimana orang-orang yang mengendarai kendaraan bermotor disebabkan karena terlambat. Masalahnya adalah ketika kita merasa bahwa hanya kita sajalah yang mengalami terlambat tersebut. Efeknya, kita menjadi tidak peduli kiri dan kanan. Orang-orang yang memotong di depan kita, lalu kita hardik dengan sekehendak hati –padahal, sekali lagi, mungkin saja orang yang kita hardik mengalami hal yang sama dengan kita.
Dengan tidak bermaksud menyederhanakan masalah, bahwa tidak semua orang terlambat lantas bermentalitas yang sama buruk. Banyak orang yang terlambat bisa terus belajar berproses dalam kehidupan. Banyak orang yang dihardik masih bisa tersenyum dan bersabar –dan ini tidak berarti menunjukkan sikap orang lemah. Mentalitas sangat penting, terutama untuk mereka yang memakai jalan secara suka-suka –dengan menyederhanakan berbagai alasan di atas.
Saya hanya ingin mengungkapkan bahwa terlambat tidak lantas menjadikan seseorang bisa beringas di jalan. Lajur yang kita lalui itu, pada saat yang sama ada kepentingan orang lain untuk menggunakannya. Jalan umum bukan jalan kita, tetapi jalan kita bersama.
Atau barangkali, ada alasan lain. Mungkin ketika tingkat pendapatan orang-orang semakin tinggi, berimplikasi kepada jumlah kendaraan yang terus meningkat. Peningkatan itu berimplikasi kepada hal lain. Orang yang baru membeli kendaraannya –roda dua, roda tiga, roda empat, atau bahkan roda enam—belum sempat belajar secara sempurna sebelum mengendarai kendaraannya di jalan umum. Dengan kenyataan demikian, surat izin untuk mengemudi juga bisa didapat dengan mudah, turut menyebabkan berbagai fenomena yang kita lihat.
Dengan demikian, mari kita berbesar hati. Ketika terkena sikut di jalan, belum bisa dipastikan bahwa seseorang memang butuh cepat, agar tidak terlambat sampai tujuan. Bisa jadi karena orang itu belum bisa mengendarai kendaraannya secara sempurna. Ia baru membelinya.