Panggilan

Ibadah semisal kurban, tidak terlepas dari konsep penyerahan diri secara ikhlas. Ibadah semacam ini sama seperti orang yang akan melaksanakan haji, juga ditentukan oleh sejauhmana mau melaksanakannya secara ikhlas. Ketika dikaitkan dengan konteks penyerahan diri, …

Ibadah semisal kurban, tidak terlepas dari konsep penyerahan diri secara ikhlas. Ibadah semacam ini sama seperti orang yang akan melaksanakan haji, juga ditentukan oleh sejauhmana mau melaksanakannya secara ikhlas. Ketika dikaitkan dengan konteks penyerahan diri, masing-masing orang akan berbeda-berbeda cara menanggapinya.

Orang-orang yang berhadapan dengan ibadah haji selalu menggunakan jurus tangkas yang namanya menunggu panggilan. Banyak orang yang berkemampuan materi, namun belum mendaftarkan ibadah hajinya dengan alasan belum merasa ada panggilan. Apalagi dikaitkan dengan daftar antre yang lama sekali. Seseorang setelah mendaftar harus menunggu bertahun-tahun hingga tiba waktu keberangkatan.

Sebaliknya, kita tiba-tiba melihat ada sahabat kita yang berangkat seperti mendapat rezeki cepat. Dengan difasilitasi oleh pihak tertentu, lalu memudahkannya cepat berangkat. Tujuannya bisa apa saja, masuk dalam tim atau membantu para jamaah yang akan berangkat.

Kenyataan ini yang bagi sejumlah orang, seolah memosisikan benar alasan menunggu panggilan itu. Padahal panggilan haji itu sendiri tidak menunggu tanpa berbuat apa-apa. Seharusnya alasan menunggu panggilan ini hanya keluar dari mulut mereka yang sudah mendaftar. Orang-orang yang belum mendaftar, terutama yang berkemampuan lebih secara ekonomi, seharusnya tidak mungkin menggunakan alasan ini.

Kalkulasi yang digunakan masing-masing orang juga berbeda. Orang yang berkemampuan biasanya beranggapan rezeki selalu, sehingga kapan pun dianggap bisa mendaftarkan diri. Sedangkan orang-orang yang hidup pas-pasan, ketika bertekad kuat ingin menunaikan ibadah ini, selalu ada seribu cara untuk ditunaikan. Mereka bekerja keras agar tekadnya tercapai.

Tidak mengherankan dalam musim haji, kita menyaksikan orang-orang yang hidupnya pas-pasan, tetapi sudah mendapatkan porsi haji. Orang-orang yang tidak kita duga, namun kenyataannya bisa menunaikannya. Terbalik dengan posisi banyak orang berkemampuan, yang bahkan nomor antre pun belum punya.

Perasaan dalam proses pencapaian itu juga berbeda-beda. Orang yang merasa ibadah sebagai beban, sangat berat ketika mewujudkannya. Rasa dan beban itu sama beratnya yang ditempuh oleh mereka yang pas-pasan namun memiliki tekad yang luas biasa. Mereka melakukan menempuh jalan berat itu dalam kondisi yang bahagia, sembari membayangkan suatu saat ia sedang berada di Padang Arafah menunaikan apa yang diimpikan.

Hal ini juga yang menjadi spirit orang yang berkurban. Hari raya ini kita juga akan menyaksikan betapa banyak orang-orang yang sebenarnya pas-pasan, namun memiliki semangat untuk menunaikan ibadah ini. Jalan sulit yang ditempuh dengan perasaan bahagia dan berbunga-bunga. Mereka ini yang berkurban dengan mengumpulkan uang mulai dari angka ribuan saja, hingga mampu membeli hewan yang akan dikurbankan.

Mengapa orang berkemampuan tidak selalu mampu menunaikannya? Kembali ke soal keikhlasan yang ternyata tidak semua kita memilikinya. Orang-orang yang tidak ikhas, dalam hal apapun akan selalu menghitung-hitung. Jika menunaikan ini akan mengurangi ini dan berimplikasi kepada itu. Sementara mereka yang bertekad baja dalam menunaikan kurban dengan berbagai keterbatasan, berpikir bahwa apapun yang dikurbankan, pada saatnya akan tergantikan berlipat ganda.

Spirit inilah yang kurang sekali dalam kehidupan kita. Spirit yang akan menggelorakan kemampuan kita untuk selalu berusaha mencapai kualitas kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang didambakan oleh semua orang, namun tidak semua mau menempuhnya secara bersahaja.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment