Ada satu debat tentang swastanisasi. Sebagian merasa, semua hal boleh saja diswastanisasi. Sebagian lagi memberi batas, untuk hal tertentu, justru harus dikendalikan sepenuhnya oleh negara. Terutama untuk hal-hal yang fatal dan dibutuhkan negara.
Seharusnya bisa kembali kepada orientasi pasal-pasal kesejahteraan dalam konstitusi. Apa yang disebutkan sebagai sebesar-besar kemakmuran rakyat, ada tolok ukurnya. Kemakmuran tidak juga semua diukur dengan materi. Rakyat memiliki akses yang baik terhadap tanah dan sumber dayanya.
Pemanfaatan sumber daya tidak terlepas dari bagaimana ruang ditata. Jangan karena alasan butuh uang, lalu menghancurkan tata ruang. Kita harus ingat bahwa tingkat kerugian karena kehancuran ruang selalu lebih besar dari jumlah pemasukan dari konsesi atau linsensi yang didapat dari ekspolitasi sumber daya. Alasan penting inilah kerangka keberlanjutan sudah dipikirkan sejak lama.
Nenek moyang kita sudah memiliki konsep keberlanjutan. Generasi kini beranggapan, konsep nenek moyang sudah ketinggalan zaman. Konsep nenek moyang bukan saja dipinggirkan, tetapi juga ditenggelamkan ke dasar jurang. Padahal mereka juga bisa berpikir jauh ke depan.
Alasan materi sering membuat banyak pihak semena-mena dan berbuat sesukanya. Bahkan suasana semakin aneh. Tata ruang semakin tidak karuan. Letak kawasan sudah bertukar-tukar. Seperti tidak belajar dari orang tua, yang sudah menempatkan tempat sesuai peruntukannya.
Melihat manuskrip masa lalu, terkesan penataan ruang sangat tertib. Antara satu kepentingan dengan kepentingan lain, diatur sedemikian rupa. Masing-masing wilayah peruntukan, dikaitkan dengan ketersediaan ruang pendukungnya.
Daerah yang memiliki penataan ruang yang bagus, tidak menimbulkan banyak masalah. Ketika sesekali bencana datang, kerugian yang ditimbulkan tidak terlalu besar. Berbeda dengan daerah yang tidak memperhatikan ruang. Bencana sering datang. Lalu yang sering diatasnamakan pada kehendak Tuhan. Setiap bencana dikaitkan dengan Pencipta. Melupakan keserakahan manusia di dalamnya.
Ketika banjir datang, terlihat tumpukan kayu gelondongan. Potongan kayu berukuran besar dibawa arus. Mengenai siapa pelaku, bisa dilakukan oleh siapa saja. Orang melihat kayu diturunkan ketika tidak sedang hujan. Seperti tidak ada yang mengendalikan.
Perubahan ruang mudah saja dilakukan. Kawasan yang penting untuk menahan bencana atau sebagai sumber air, diganti untuk kepentingan lain. Seolah ijin dan proses untuk itu begitu mudahnya.
Sudah semakin sulit membedakan antara ruang dengan uang. Terkesan sekarang ini semua ruang mudah diuangkan. Ruang ditentukan oleh uang. Ruang kosong atau tidak kosong, asal bisa dimanfaatkan, langsung diuangkan. Ruang yang lindung saja diupayakan untuk tidak lindung, apalagi yang lain.
Penyusunan ruang, menggambarkan tarik menarik kepentingan. Seharusnya ruang memperhatikan pola, sesuai dengan karakternya. Kenyataannya tidak semua mengikuti demikian. Ruang terkesan disusun suka-suka.
Dalam Kamus, yang disebut ruang, terdapat dalam empat makna. Pertama, sela-sela antara dua (deret) tiang atau sela-sela antara empat tiang (di bawah kolong rumah. Kedua, rongga yang terbatas atau terlingkung oleh bidang. Ketiga, rongga yang tidak berbatas, tempat segala uang ada. Keempat, petak di buah (durian, petai); pangsa.
Maksud dalam tulisan ini terkait dengan wadah. Terkait dengan lingkungan, wadah itu terkait dengan peruntukan yang seharusnya.
Ketika disebut dengan ruangan, maksudnya mungkin akan sedikit berbeda. Makna ruangan berbagai macam. Pertama, tempat yang lega; kamar (besar); bilik (dalam rumah); kelas (tempat belajar); tempat dalam kapal (perahu); tempat muatan; palka. Kedua, lajur; kolom surat kabar. Ketiga, lapangan; lingkungan; kalangan. Keempat. Rubrik dalam koran (majalah).
Sementara uang adalah alat pembayaran.
Dengan mekanisme pemanfaatan ruang yang semakin tidak terkendali, suka-suka, maka lahirlah ungkapan di awal: ruang untuk uang. Uang dari ruang.
Secara eksplisit, tidak ada yang mengaku bahwa semuanya demi uang. Mengawinkan ruang dengan uang hanya bisa ditelisik dengan terawang. Masalahnya, di mulut orang tidak mengaku walau implikasi ruang bisa dilihat dengan mata telanjang.
Orang berlomba-lomba untuk mendapatkan kekuasaan, salah satunya ditentukan oleh bagaimana bisa mengatur itu semua.