Pesan Kemenangan

Bagaimana mengukur kemenangan itu? Ibadah, tentu bukan kita yang ukur. Namun seperti saat hendak kita lakukan akreditasi sesuatu, semuanya memiliki standar. Ibadah demikian juga. Makanya dikenal yang namanya syarat dan rukun. Paling tidak, ia menjadi …

Bagaimana mengukur kemenangan itu? Ibadah, tentu bukan kita yang ukur. Namun seperti saat hendak kita lakukan akreditasi sesuatu, semuanya memiliki standar. Ibadah demikian juga. Makanya dikenal yang namanya syarat dan rukun. Paling tidak, ia menjadi standar bagaimana sesuatu itu dilakukan.

Akreditasi yang dilakukan terhadap berbagai lembaga, ada standar tertentu yang dibuat oleh manusia. Mengapa ada standar? Karena dengan batasan itu apa yang dilakukan memenuhi hal yang paling tidak tercukupi. Sekiranya tidak memenuhi, maka sesuatu itu akan dipertanyakan kualitasnya.

Saya kira pada batasan inilah ibadah juga harus dipenuhi. Bukan ibadah suka-suka. Orang-orang yang berharap ibadahnya akan sampai ke tujuan, setelah batasan minimal itu sudah berusaha dicapai.

Banyak orang menangis walau batasan minimal sudah dicapai. Bukan apa-apa, tetap berharap apa yang dilakukan akan mendapat keridhaan. Tidak semua orang bisa menangis.

Terus-terang, ketika di tempat saya pernah tinggal, saya jarang menyaksikan orang tua menangis, apalagi anak muda yang menangis hebat, ketika akhir bulan puasa. Maksud saya, mereka yang benar-benar menangis. Bukan tangis yang memperdengarkan suara hidung semata. Seperti orang pilek.

Ketika saya kontrak di tempat dulu, saya familiar dengan kondisi ini. Kondisi dimana hampir seisi masjid menangis –benar-benar menangis. Hal ini umumnya terlihat ketika puasa memasuki 10 hari terakhir –khususnya menjelang detik-detik terakhir puasa. Malah ada satu masjid yang saya sering shalat isya dan tarawih di sana, pada 10 malam terakhir secara bersahaja menyambut siapa saja yang datang untuk beriktikaf atau beribadah malam. Sehingga dari banyak kawasan, ketika mendekati isya, merapat ke sini dengan membawa bekal.

Sebenarnya panitia masjid juga menyediakan secara khusus makanan ala kadar, terutama untuk sahur para jamaah. Namun banyak jamaah yang sepertinya juga tidak ingin merepotkan. Syukur bila ada persediaan, tetapi mereka dari rumah juga membawa makanan ala kadarnya. Fenomena itu bagi saya sangat dahsyat. Dukanya adalah saya belum mengambil ibadah malam di masjid ini sekalipun. Padahal jumlah jamaahnya yang datang ke sini mencapai ratusan. Memang sejumlah masjid lain juga banyak jamaah, terutama yang di kota. Untuk masjid yang terletak di pinggiran kota, bagi saya ini sangat luar biasa.

Sekarang ini terlihat sejumlah tempat, orang berkumpul untuk shalat malam. Sejumlah masjid di kota hidup, dengan jamaah yang menyesaki masjid. Mudah-mudahan keadaan ini akan berimplikasi positif kepada peradaban.

Di samping itu, fenomena lain yang tampak adalah status sosial jamaah. Tidak selamanya jamaah yang beribadah malam itu mereka yang berstatus sosial rendah. Di halaman masjid sering saya saksikan ratusan mobil pribadi yang terparkir, yang menandakan bahwa jamaah di dalam masjid itulah yang pemiliknya. Mereka sengaja datang untuk memakmurkan masjid sejak dari shalat isya, hingga sampai ke shalat subuh. Datang ke sini khusus untuk beribadah malam, bukan untuk membuat –istilah para anak muda—pos ronda, kondisi dimana orang banyak berkumpul tetapi tujuannya tidak lebih dari saling berbicara satu sama lain. Apa yang dibicarakan juga tidak jelas. Nah, keberadaan orang yang datang ke masjid ini bukan untuk tujuan itu, melainkan benar-benar untuk beribadah.

Di sinilah saya sering melihat orang-orang yang bersusun bersaf-saf mengikuti shalat dalam kondisi terisak. Kondisi menuju detik-detik malam terakhir biasanya semakin ramai. Dengan dipimpin oleh hafidz yang khusus diundang, membuat kondisi malam semakin syahdu yang terasa ke relung batin. Apalagi bagi yang mendapat tempat pada saf depan, biasanya akan menyaksikan betapa banyak air mata yang tertumpah. Tidak ada penjelasan khusus mengapa mereka menangis. Namun dari pembacaan sekilas, akhir waktu yang penuh berkah menjadi alasan yang kuat untuk itu. Orang yang menangis bisa jadi sudah merasakan betapa bulan yang meninggalkan kita, sedangkan kita sama sekali belum berbuat apa-apa.

Hanya secuil manusia yang menyadari ini. Ada kesadaran bahwa betapa banyak hikmah Ramadhan yang tidak kita petik –bahkan mungkin ada orang yang tidak memetiknya sama sekali. Sungguh sayang. Sedangkan mereka yang merasa penuh hikmah, ingin menjemput hingga detik-detik terakhir. Bahkan hingga saat demikian pun, terasa betapa minimnya menjemput hikmah demikian.

Orang-orang yang berusaha menjemputnya dengan berbagai cara, tentu akan merasakan perubahan hidup yang luar biasa bagi diri dan keluarnya. Orang-orang yang berhasil adalah mereka yang mendapatkan kondisi hidupnya ke arah yang lebih baik.

Potret rombongan yang satu. Bisa dibandingkan dengan rombongan lain yang menyambut akhir bulan ini dengan cara yang lain lagi. Ketika memasuki menit-menit akhir, penuh sesak orang berkerumun di pasar –yang beberapa di antaranya justru berada tidak jauh dari masjid. Ketika berada dalam lorong-lorong pasar dengan pengeras suara penjaja pakaian, terkalahkan kerasnya suara imam shalat dari masjid di sekitarnya.

Pada hari-hari terakhir, seolah ada pertanyaan penting terwakilkan lewat wajah dan ekspresi, apakah kita sudah memperoleh kemenangan yang dijanjikan? Ataukah kita justru tidak melakukan apa-apa untuk mencapai kemenangan itu? Lebih ironis ketika kita pun tak melakukan apa-apa dalam menyambut kemenangan yang sangat dahsyat?

Kemenangan tidak melalui proses hitung-hitungan. Kemenangan adalah berhasil membawa perubahan drastis dalam kehidupan kita yang lebih baik, menapaki waktu-waktu sesudah Ramadhan, yang insya Allah jika ada umur panjang, kebaikan itu yang terus berlangsung hingga Ramadhan berikutnya.

Semoga Allah menjaga perilaku kita sepanjang tahun, seperti saat Ramadhan. Amin.

Leave a Comment