Sejumlah mahasiswa, selepas berdemo menolak Rohingya, tiba-tiba melakukan hal-hal yang tidak manusiawi. Melalui video yang viral, tampak mereka mendatangi tempat para pengungsi, mengusir dan memindahkan paksa. Perempuan dan anak-anak, melalui video yang saya lihat, tampak menyedihkan. Entah siapa mahasiswa ini. Karena dalam beberapa waktu, sejumlah pimpinan kampus dari jaket-jaket yang digunakan, mengklarifikasi tidak ada keterlibatan kampus mereka. Bahkan ada yang tampak dalam video, berdasarkan klarifikasi kampus, justru diungkap bukan mahasiswa mereka.
Kejadian ini lalu menimbulkan gelombang protes baru. Sebagian menyebut mereka sudah membuat malu bangsa. Memperlakukan pengungsi secara tidak manusiawi, sungguh perilaku yang tidak beradab. Pengungsi dipaksa pindah dari tempatnya, dibawa ke gedung lain di seberang jalan, namun tengah malam, mereka dikembalikan lagi ke tempat semula.
Saya menelusuri sejumlah alasan yang membuat Rohingya ditolak selama ini. Antara lain, ada di antara mereka yang tidak patuh di lokasi penampungan. Ada yang berperilaku jorok, misalnya kedapatan sejumlah pengungsi buang hajat tidak pada tempatnya. Ada kejadian dari sejumlah pengungsi, yang membuat bantuan pada rombongan yang tidak diizinkan mendarat. Sejumlah pendemo menyebut hal yang aneh. Dengan mengutip Malaysia, ada yang menyebut mereka meminta tanah di sana. Berita tentang ini, saya cek berulang-ulang, masih harus diverifikasi.
Begitulah. Gelombang pengungsi sudah berlangsung sejak 2017. Bukan hanya di Aceh. Sejumlah daerah di Indonesia, juga menjadi sasaran pengungsi.
Sudah 47 kapal para pengungsi dari Rohingya mendarat di daratan Aceh. Tahun 2017, saat gelombang kekerasan diarahkan bangsa ini, Rohingya memiliki pergi, terutama menghindari kekerasan yang dilakukan negara militer Myanmar dan kumpulan kaum ultranasionalis yang juga didukung negara. Di pinggir Myanmar, negara Bangladesh, sudah disediakan sepetak lokasi pengungsi untuk menampung hampir satu juta penduduk. Tapi kehidupan yang baik selalu menjadi incaran manusia di mana pun. Termasuk bangsa ini yang merupakan etnis minoritas di negara Myanmar.
Etnis Rohingya beragama Islam, dan sudah beradab tinggal di pinggiran selatan Myanmar yang bernama Rakhine. Jadi bukan bangsa yang baru muncul tiba-tiba. Namun dalam politik negaranya, bangsa ini sepertinya bukan bangsa yang diinginkan. Kekerasan yang terjadi secara membabi buta tahun 2017, membuat korban yang tidak sedikit. Menurut salah satu sumber, korban Rohingya pada kekerasan 2017, mencapai enam ribu orang. Belum lagi korban karena kebijakan negara yang sepertinya terus mendiskriminasi etnis ini.
Pada tahun 2017, gelombang pengungsi yang hadir di Aceh disambut dengan baik. Bahkan kapal-kapal tua yang dijadikan kendaraan untuk mengarungi laut, ditarik orang Aceh ke wilayahnya. Bantuan dari Aceh waktu itu sangat terasa. Dalam perjalanan, ada orang yang pernah membntu, lalu tersangkut kasus hukum. Ada pengungsi yang menggunakan momentum mengungsi untuk kepentingan lain. Misalnya, terlibat dalam perdagangan orang.
Berbeda dengan sekarang, gelombang penolakan terhadap etnis ini datang bertubi-tubi. Gerakan penolakan berjalan seperti satu komando dengan sasaran menolak Rohingya di Aceh. Penolakan bahkan terasa super kencang. Bagi saya, bangsa ini perlu dibela karena mereka sedang berusaha memperbaiki kualitas hidupnya. Membantu bangs aitu, tidak lantas melupakan bangsa sendiri. Bagi saya, sama seperti memberi perasaan untuk warga Palestina yang sedang berjuang dari penjajahan Israel. Bangsa Rohingya juga mengalami perlakukan yang menyedihkan dari negaranya. Sayangnya, ada anak bangsa yang menggoreng isu bangsa Rohingya demi mendapatkan cuan dari media sosial. Menyedihkan bangsa beragama Islam ini diperlakukan.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.