Politik Rasis

Sejumlah kasus semacam ini, pernah terjadi. Bukan hanya di negara kita, melainkan juga di sejumlah negara lain. Ia seharusnya bukan pilihan. Tapi dalam kenyataan, ternyata terjadi. Dalam seminggu ini, sejumlah ucapan rasis terdengar dan viral. …

Sejumlah kasus semacam ini, pernah terjadi. Bukan hanya di negara kita, melainkan juga di sejumlah negara lain. Ia seharusnya bukan pilihan. Tapi dalam kenyataan, ternyata terjadi. Dalam seminggu ini, sejumlah ucapan rasis terdengar dan viral. Anggota DPD Bali, Arya Wedakarma, dalam satu rapat, yang potongan videonya beredar, menyebut kurang lebih “… saya nggak mau yang frontline-frontline itu, saya mau gadis Bali kayak kamu, rambutnya kelihatan, terbuka. Jangan kasih yang penutup-penutup nggak jelas…” Ia kemudian mengklarifikasi dan meminta maaf atas ucapannya.

Belum lama, seorang politisi Partai Demokrat, Susilawati, menyebar nada rasis untuk salah seorang calon presiden, dengan menyebut sebagai “…bangsa Yaman yang bermigrasi ke Indonesia…”. Ia menyatakan itu di tweet. Saya ragu apa ia ingat kakek dari Anies Baswedan itu sebagai pejuang nasional –yang tentu saja karena berkontribusi dalam gerakan kemerdekaan Indonesia. Lantas siapa Susilawati ini, sehingga berani mencibir dan menghinakan orang lain? Apa ia juga memiliki darah dari pejuang? Tapi pernyataan ini sendiri kemudian dihapus dan ia meminta maaf.

Saya tidak tahu apa yang menjadi latar belakang keduanya, sehingga pada kesempatan berbeda, mereka melakukan hal-hal yang hina. Bisa jadi ada sesuatu yang terjadi pada keduanya. Katakanlah, sebagai contoh, misalnya rasa dendam politik karena partainya dikecewakan. Saya menduga-duga begitu. Tapi sebagai catatan, menjadi alasan apa pun untuk menghinakan orang lain, bukan sesuatu yang boleh dilakukan. Apalagi dilakukan oleh seorang yang seharusnya menjadi teladan publik.

Realitasnya, kedua politisi itu, sama-sama sedang berjuang untuk terpilih dalam pemilihan umum 2024. Sehingga bisa dianggap atau diduga hal yang dilakukan itu sebagai salah satu cara yang digunakan untuk mendongkrak potensi suara. Namun cara seperti ini yang dilakukan, justru rendah dan merendahkan, yang seharusnya tidak boleh dilakukan.

Politik semacam ini kerap berlangsung tidak hanya di Indonesia. Jika dilihat di sejumlah negara-negara yang diklaim demokrasi pun, pernah mengalami hal-hal yang sama dari para politisinya. Para politisi yang sedang berjuang memenangkan kompetisi pemilihan umum, melakukan hal-hal yang menyakitkan orang lain. Membakar kitab suci, menyebarkan kebencian terhadap kaum minoritas, dan sebagainya. Hal ini terjadi di Denmark, apalagi negara lain yang dianggap kelas dua, seperti Myanmar, Korea Selatan, dan negara-negara lain di Asia.

Dalam bernegara, pilihan berbuat, berperilaku, berkata-kata rasis, seharusnya bukanlah pilihan. Apalagi untuk negara yang menunjung tinggi kebersamaan dan tolerasi. Sudah seharusnya politik ini berubah. Sudah seharusnya politisi tidak menjadikan hal-hal yang rasis sebagai bahan bagi perjuangannya. Pilihan yang tidak beradab ini, seyogianya bukan pilihan bagi kita yang berada di negara yang beradab.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment