Catatan ini sesungguhnya dimulai dari sejumlah pertanyaan —terutama pertanyaan mendasar— tentang negara: mengapa kita membutuhkan negara? Saya tidak memiliki pemahaman mendalam terkait pertanyaan ini dalam perspektif ilmu terkait. Namun konsep ini, secara terbatas, saya pelajari dari sejumlah literatur terkait sejumlah mata kuliah yang saya isi. Dari sejumlah literatur itulah, menggambarkan betapa posisi negara itu sangat penting. Bahkan sebegitu pentingnya, negara dan tujuannya sudah mulai dipikirkan sejak lima abad sebelum masehi. Ada sesuatu yang penting, makanya sejak awal hal ini sudah menjadi bahasan. Bukan saja terkait apa itu negara, bahkan pertanyaan di atas, mengapa kita membutuhkan negara, seyogianya menjadi penentu keberadaan kita dalam bernegara.
Saya pelajari sedikit tentang apa yang dimaksud dengan negara dan tujuannya. Yang saya tahu, orang-orang pada semua era, semua zaman, dari filsuf awal hingga pemikir kekinian, menyebut negara yang selalu berelasi dengan tujuannya. Keberadaan negara, menurut para filsuf, terkait dengan keinginan pencapaian tujuan kebahagiaan dan kesejahteraan orang-orang di dalamnya –dalam makna tertentu bisa saja untuk kebahagiaan dan kesejahteraan orang tertentu. Ada era yang hanya berpikir soal lahir. Ada era yang turut melihat tujuan batin. Ada cara berpikir yang hanya menyentuh soal dunia. Ada pula yang disertai keyakinan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan itu juga harus menembus kepentingan akhirat. Ukhrawi. Kita bisa melihat ruang-ruang berpikir itu: tentang negara —bahkan kini didukung oleh ruang berpikir lain lagi, yakni bagaimana cara mencapai keinginan itu.
Corak mencapai kebahagiaan masyarakat baik di dunia maupun di akhirat, menjadi model ideal dari konsep dan tujuan negara yang disebut oleh Al-Farabi. Pencapaian tujuan semacam ini pun bukan sesuatu yang sulit. Dengan bangunan konsep tersebut, semua proses dan pelaksanaan kekuasaan dari awal sudah diorientasikan kepada pelaksaan negara yang dicita-citakan tersebut (Alisa, Suradjuddin, & Misbahuddin, 2023).
Sejak era Plato atau Aristotoles, saya kira tujuan negara semacam itu sudah dipikirkan. Cara mengelola kekuasaan dalam pencapaian itu bisa saja berubah-ubah. Cara pengelolaan negara tidak lepas dari konsep dasar tentang apa sesungguhnya yang disebut sebagai negara itu. Dan pandangan tersebut bisa berbeda-beda dari pemikir dari ragam negara. Tujuan kebahagiaan dan kesejahteraan, yang saya sebutkan sebelumnya, menjadi tujuan umum yang ingin dicapai. Atau dalam makna yang kedua, kebahagiaan dan kesejahteraan pada orang-orang tertentu. Sebutlah, contoh yang terakhir ini, seperti apa yang disebutkan Niccolo Machiavelli yang mengaitkan negara dengan pengelolaan kekuasaan. Pemikir ini menyebut konsep dan tujuan negara terbatas pada motivasi tertentu. Tujuan negara ingin menguasai, baik ke dalam maupun ke luar. Ketika berhadapan dengan negara lain, sekaligus mengelola bagaimana orang-orang di dalam negara harus tunduk tanpa kecuali terhadap penguasa.
Dengan demikian ada banyak domain saat kita menjawab pertanyaan mendasar penting di atas — mengapa kita membutuhkan negara? Termasuk kemudian yang berkembang terkait pilihan masing-masing pendiri bangsa dari masing-masing negara saat memiliki corak negara yang seperti apa dipilih sebagai bentuknya. Ketika sudah dipilih pun, selain perdebatan konsep yang tidak ada habisnya, juga selalu akan diuji sepanjang waktu bagaimana pengelola negara akan melaksanakan corak negara yang sudah dipilih itu.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.