Indonesia Memilih Negara Hukum

Sejumlah pilihan bentuk negara tersedia. Para ahli membicarakan berbagai pilihan yang tersedia untuk dijadikan sebagai bentuk dari negaranya. Termasuk Indonesia. Saat diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, saya kira salah satu hal krusial yang harus segera …

Sejumlah pilihan bentuk negara tersedia. Para ahli membicarakan berbagai pilihan yang tersedia untuk dijadikan sebagai bentuk dari negaranya. Termasuk Indonesia. Saat diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, saya kira salah satu hal krusial yang harus segera tersedia adalah bentuk negara dan konstitusinya. Bukan berarti hal itu belum dipikirkan saat persiapan kemerdekaan. Proses untuk menjadikan bentuk negara tertentu bagi satu negara yang baru merdeka, dilakukan dengan proses yang tidak sederhana. Indonesia memilih negara hukum saat setelah proklamasi kemerdekaan dan pada Undang-Undang Dasar 1945, penegasan ini dicantumkan dalam penjelasan. Baru pada hasil amandemen, penegasan negara hukum disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3).

Pertanyaan kekinian adalah bagaimana negara hukum itu dioperasional oleh penguasa dalam eranya masing-masing. Dan tentu saja, masing-masing kita memiliki penilaian sendiri atas apa yang dilaksanakan oleh penguasa era-era tersebut. Pertama, ketika sudah memilih negara hukum, konsekuensinya adalah mengikuti secara baik dari konsep ini ke aplikasi. Kedua, tantangan dalam realitas adalah pelaksanaan kekuasaan yang selalu dibayangi oleh berbagai kepentingan ekonomi, politik, sosial, dan budaya, yang menyebabkan negara hukum itu dalam bayang-bayang ketidakseriusan –atau bahkan pelanggaran oleh pengelola kekuasaan.

Saya mencatat sejumlah artikel Bivitri Susanti mengingatkan akan negara hukum ini. Dalam artikelnya “Ancaman Negara Hukum”, Susanti menyebut kekuasaan memiliki segalanya untuk membolak-balikkan kesalahan. Ketika MPR mencabut Tap MPR No. XI Tahun 1998 tentang Pemberantasan KKN, ada soal negara hukum yang dipertaruhkan. Termasuk menghilangkan nama Soeharto dalam hal keterlibatan dan KKN semasa berkuasa. Pemegang kekuasaan harus bertanggung jawab secara hukum atas semua hal yang dilakukan saat memegang kekuasaan (Susanti, 2024).

Masalahnya adalah pemegang kekuasaan kerap memiliki langkah yang tidak peduli dengan negara hukum. Ketika kekuasaan sedang di tangan, seolah-olah semua hal boleh dilaksanakan. Makanya menurut Susanti, jika pertanggungjawaban hukum diabaikan, akan ada norma baru tentang hukum yang diterapkan berdasarkan status seseorang. Pejabat dianggap seperti dalam struktur kerajaan, dengan presiden sebagai rajanya, serta pejabat-pejabat serupa hulubalang dan bangsawan. Dalam negara kekuasaan, mereka tidak dibatasi hukum. Padahal, kita sedang membangun negara hukum (Susanti, 2024).

Bagi negara hukum yang rapuh, pemegang kekuasaan tidak mau tahu. Kepentingan ekonomi, politik, sosial-budaya, menjadi ukuran dalam menjalankan hukum. Dalam dua tahun terakhir, tampak bagaimana negara hukum ini dijalankan. Proses pelaksanaan kekuasaan, sepertinya sedang memperlihatkan negara hukum didudukkan dalam bayang-bayang. Kita sedang berhadapan dan diuji dalam bernegara hukum, dengan berbagai kepentingan dan relasi yang ada dalam pelaksaan kekuasaan.

Pergantian kekuasaan yang lalu, mudah-mudahan menjadi pemutus mata rantai untuk kembali melihat hukum sebagai panglima. Tidak ada kepentingan lain selain mengedepankan hukum yang adil. Walau tantangan tidak juga sederhana. Berbagai godaan menghinggap.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment