Ruang Privat

Saya agak berat datang untuk buka bersama di tempat tertentu, sebelum saya pastikan bahwa tempat shalat magrib benar-benar tersedia secara layak. Berulang kali saya memiliki pengalaman tentang ini. Buka puasa, lalu saat mau shalat magrib, …

Saya agak berat datang untuk buka bersama di tempat tertentu, sebelum saya pastikan bahwa tempat shalat magrib benar-benar tersedia secara layak. Berulang kali saya memiliki pengalaman tentang ini. Buka puasa, lalu saat mau shalat magrib, ternyata tempatnya tidak tersedia secara layak.

Mereka yang kreatif, akan memilih tempat buka puasa bersama yang berdekatan dengan masjid atau meunasah. Dengan demikian, soal ini akan teratasi. Namun tetap menjadi catatan, bahwa tempat di sekitar masjid dan meunasah pun, tetap harus dikontrol agar tidak membuat keasyikan tersendiri di sana. Saat orang lain sedang beribadah, jangan sampai orang-orang yang menikmati makanan dan minuman di sana riang melebihi batas.

Sejauh ini, perjalanan puasa demikian maju. Orang-orang yang terbiasa dengan jaringan media sosial, akan memahami bagaimana perilaku orang-orang yang sedang beribadah zaman kini. Tidak sulit menemukan posisi orang, karena kebanyakan kita sendiri yang selalu memberitahukan posisi kita. Bahkan saat sedang apa dan dimana, kita sendiri yang tidak lagi memberi batas.

Seorang teman menyebut fenomena ini sebagai kehilangan ruang privat. Semua ruang, kamar, bilik, bahkan apapun, sudah menjadi milik publik. Pemiliknya yang membuat sesuatu itu milik publik. Bahkan untuk hal-hal yang tidak pantas sekalipun, orang-orang sudah tidak malu lagi menebarnya ke orang lain.

Termasuk dalam ibadah, kebanyakan kita juga sudah terbiasa dengan menebar wajah. Apa yang lebih mengerikan selain ibadah itu hanya dilakukan untuk memuaskan tampilan. Sehingga seseorang yang melakukan ibadah, mulai dari ibadah sunat hingga wajib, selalu mengirimnya ke media sosial. Mulai dari berdoa dan menengadah tangan hingga menugaskan orang yang merekam ketika kita sedang menunaikan shalat. Lalu mengirim ke berbagai grub media sosial. Orang-orang yang melihat akan menekan tanda suka, atau mengomentari secara luar biasa.

Ada yang berbeda antara ibadah yang tampak dengan yang tidak tampak. Salah satu yang saya maksud sebagai tidak tampak adalah orang yang berpuasa. Jika berdasarkan tampilan, kita tidak bisa membedakan orang berpuasa dengan mereka yang sudah berbuka. Orang yang tidak berpuasa, bisa berlagak seperti orang yang tidak makan sahur saat berpuasa. Ibadah ini juga bisa menghadirkan keramaian tersendiri.

Selaras dengan itu, di banyak tempat, ada tren baru yang namanya buka bareng. Berbagai restoran, dengan berbagai variasi tawaran makanan, selalu penuh pengunjung. Tidak peduli apakah itu makanan lokal atau bukan makanan lokal. Tidak peduli juga siapa yang menjaja, orang lokal atau bukan orang lokal. Restoran dengan tawaran berbagai pilihan, baik corak, rasa, maupun komunitas yang menjadi sasaran. Remaja dan orang muda menjadi sasaran penting dalam agenda buka bareng ini. Untuk sasaran umur ini, sepertinya tidak butuh banyak tempat, selain tempat duduk berlama-lama di depan makanan.

Saya memiliki pengalaman tidak menarik, dan pengalaman ini membuat saya agak susah datang pada undangan yang diadakan di tempat yang fasilitasnya tidak memadai. Biasanya warung makan dengan tempat duduk yang ratusan kursi jumlahnya, dengan deretan meja panjang yang banyak, namun giliran tempat untuk shalat, hanya menyediakan ruang kecil saja –yang mungkin hanya muat beberapa orang saja. Bisa dibayangkan berapa lama orang akan menunggu pada lokasi yang demikian. Sekiranya semua shalat, maka butuh waktu minimal lima menit untuk satu orang, dikalikan tidak lebih dari 10 orang, maka butuh waktu paling tidak enam hingga delapan kali lipat. Artinya, orang yang antre baru bisa menunaikan kewajibannya empat puluh menit kemudian. Waktu yang berada pada posisi akhir.

Momentum ini menjadikan kita seyogianya menjadi manusia yang semakin sempurna. Konteks kesempurnaan, tentu tak terbatas pada hubungan yang vertikal, melainkan juga turut serta dalam hubungan yang horizontal. Seharusnya memang ada hubungan antara keduanya. Seseorang yang menyelesaikan kewajiban vertikal, seharusnya berimbas kepada horizontal. Sayangnya dalam kenyataan, keduanya sering timpang. Ini perlu diluruskan.

Menyelaraskan keduanya pun butuh tata pikir. Kita harus senantiasa buat hitung-hitungan yang saya ungkap di atas. Hal yang paling prinsip dari hitung-hitungan ini, agar saat mengejar ibadah yang satu, bukan meninggalkan ibadah lainnya.

Leave a Comment