Salah Hukum

Saya sering mendiskusikan buku Elegi Penegakan Hukum di dalam kelas. Buku ini sendiri mengingatkan awal abad ke-20, saat di Amerika diterbitkan kisah-kisah peradilan sesat. Ada sejumlah kasus dimana hukum salah menemukan sasaran. Mengapa bisa terjadi? …

Saya sering mendiskusikan buku Elegi Penegakan Hukum di dalam kelas. Buku ini sendiri mengingatkan awal abad ke-20, saat di Amerika diterbitkan kisah-kisah peradilan sesat. Ada sejumlah kasus dimana hukum salah menemukan sasaran. Mengapa bisa terjadi? Bukankah sudah terjadi beberapa kasus?

Dalam hukum, dikembangkan dokrin sedemikian rupa, yang salah satu bunyinya adalah “melepaskan seribu orang bersalah lebih baik dibandingkan dengan menghukum satu orang tidak bersalah”.

Buku yang diterbitkan Kompas, memperlihatkan ada banyak kejadian salah hukum di Indonesia. Salah satu yang lumayan saya ingat, dan kasus ini tidak ada dalam buku Elegi Penegakan Hukum, adalah kasus pembunuhan di Jombang, Jawa Timur. Kepolisian mengakui bahwa ada kesalahan pelaku dalam kasus pembunuhan Asrori (Kompas, 29 Agustus 2008). Devid Eka Priyanto yang telah divonis 12 tahun, Imam Hambali alias Kemat divonis 17 tahun, dan Maman Sugianto yang waktu terbuka kasus ini sedang disidangkan, adalah para ‘korban’ dari terjadinya kesalahan pelaku (Kompas, 30 Agustus 2008).

Segera saja dua kemungkinan menjadi penting untuk dikemukakan. Pertama, kasus ini semakin menampakkan bahwa selalu ada peluang hukum yang ’bermasalah’, walau bukan karena sengaja. Apalagi selama ini, kasus hukum bagai tak ada habisnya di negara kita. Kedua, seharusnya dengan konsep pemeriksaan yang berlapis, kebenaran semakin mudah ditemukan. Penegak hukum ada beberapa lapis, seharusnya jika semua berjalan dengan ketat, potensi salah hukum akan semakin kecil.

Tidak mungkin menyalahkan siapa-siapa saat semua sudah terjadi. Dalam kasus di Jombang itu, posisi ketiga terhukum dan terdakwa juga harus mendapat perhatian tersendiri. Bila semua sudah jelas, proses hukum yang lain juga dibutuhkan. Seseorang yang sudah jelas secara empiris bukan pembunuh, mekanisme penyelesaiannya juga harus melalui mekanisme formal hukum.

Pengalaman ini begitu tinggi nilainya, karena seseorang yang mengalami keadaan salah hukum, tidak mungkin diganti nilainya dengan apapun. Makanya ketika kasus itu terbongkar, langkah hukum konkret itu tidak boleh ditunda-tunda. Institusi yang berwenang harus segera mengambil kebijakan konkret terhadap kasus tersebut. Namun demikian, patut dicatat bahwa andaikata mereka dibebaskan dalam sekejap pun tidak sertamerta mengubah pandangan mereka terhadap ’kezaliman’ hukum. Apalagi kalau sampai ditunda-tunda.

Inilah salah satu wajah hukum yang tampak ke permukaan. Sebenarnya sudah sejak awal, hukum berusaha mengantisipasi hal ini. Salah satu bukti adalah adanya ’doktrin’ penting dalam hukum kita yang menegaskan bahwa menghukum satu orang yang tidak bersalah sama sekali tidak sebanding walau dengan melepaskan seribu orang yang bersalah sekalipun.

Namun yang terjadi sekarang adalah kita tidak menghukum satu orang yang tidak bersalah, namun kita menghukum dua orang dan satu lagi sedang diadili. Orang yang tidak tahu-menahu, menjalani proses sampai diketuk palu 12 dan 17 tahun. Kita salut pada polisi yang secara terbuka menyampaikan hal ini. Salut ini, ingin menunjukkan bahwa manusia memiliki keterbatasan. Jadi orang-orang yang menggawangi institusi hukum itu, harus selalu memikirkan manusia sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini tidak lantas bisa menjadi alasan untuk terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi keterbatasan inilah yang membantu dalam melihat kenyataan secara luas dalam proses berhukum. Selebihnya keterbatasan itu akan berguna dalam memperbaiki kualitas kelembagaan dan struktur dalam menjalankan hukum.

Hal yang harus diperbaiki, waktu itu, salah satu yang menyeruak ke permukaan adalah kasus salah pelaku pembunuh Asrori. Di sini dengan jelas tergambar bahwa ada imaji hukum yang bisa berlangsung secara sempurna. Dari awal sampai akhir, kasus ini bisa menemukan terhukumnya. Terpidana dan terdakwa ditemukan setelah melalui sebuah proses yang akhirnya ketahuan bahwa para terhukum ternyata dibuktikan sebagai pembunuh dengan proses penuh keterbatasan itu.

Bagi kita, ini sebagai proses yang mencengangkan. Seperti kasus yang diangkat dalam cerita tertentu yang fiksi. Tentu, bagi tertuduh, ini menjadi semacam fiksi yang sangat menyakitkan dalam kehidupan mereka. Bila memang semuanya sudah jelas, berarti para terhukum dan terdakwa hanyalah ’pelaku peran’ dalam menjalani skenario dari pemeriksaan hingga masuk penjara. Persis seperti seorang aktor yang mengikuti perintah sutradara dan skenarionya.

Apa yang terjadi dengan kasus ini, tidak sertamerta hanya dapat disalahkan satu struktur hukum semata. Dalam proses penegakan hukum, ada sejumlah lapis penegak hukum. Sungguh tak adil bila semua kesalahan ditimpakan kepada struktur hukum tertentu, walau dari sana proses ’pemeriksaan’ berpunca. Namun dalam proses ’mengadili’ seseorang, masih ada yang lain. Institusi lain tak harus langsung menyetujui apa yang dilakukan penegak hukum sebelumnya. Namun dalam proses pertanggungjawaban kasus, ’menyetujui’ dan tidak kritis untuk membuktikan yang sesungguhnya, maka itu juga harus bertanggung jawab.

Kasus ini harus menjadi catatan penting dalam perjalanan hukum di Indonesia. ’Keadilan harus ditegakkan walau bumi runtuh’. Jangan sampai dengan kasus ini, mengubah pandangan orang menjadi ’keadilan biarlah runtuh’.

Leave a Comment