Semangat Berbagi

Tidak semua orang memiliki semangat berbagi. Orang yang secara materi berlebihan sekalipun, belum tentu bersemangat berbagi dengan orang yang membutuhkan. Kadangkala semangat berbagi itu lebih besar dimiliki mereka yang secara materi biasa-biasa saja. Berbagi itu …

Tidak semua orang memiliki semangat berbagi. Orang yang secara materi berlebihan sekalipun, belum tentu bersemangat berbagi dengan orang yang membutuhkan. Kadangkala semangat berbagi itu lebih besar dimiliki mereka yang secara materi biasa-biasa saja.

Berbagi itu masalah konsistensi. Mereka yang yang bersemangat, tidak penting akan berbagi seberapa besar, melainkan konsisten tiap hari harus memberi. Mereka yang menjaga asa ini, tiap hari harus berbagi, tidak penting seberapa besar yang mereka punya untuk berbagi itu. Memberi setiap hari, walau kecil, jauh lebih penting dibandingkan memberi besar, namun pada saat tertentu saja.

Ada orang yang lebih mudah berbagi saat ada even. Atau saat ada pemberitaan, semua seperti sangat berjiwa sosial. Tipe yang demikian tidak mencerminkan semangat berbagi yang sesungguhnya. Untuk semangat ini, kita harus belajar dari orang-orang dulu yang secara rutin menyiapkan momentum untuk saling berbagi.

Orang-orang yang dari segi materi terbatas, selalu membiasakan diri berbagi. Makanan yang dibawa untuk kebutuhan kerja, dibawa selalu berlebih. Ia berharap, saat makan, ada orang yang lewat dan mereka akan berkenan menemaninya. Ada perasaan bahagia ketika ada orang yang mencicipinya.

Suatu kali, ketika pulang dari kampung dengan minibus L-300, saya sebangku dengan seorang tua penjual sayur. Ia tinggal di daerah yang sebagian besar penduduknya bertani. Saat ini, kampung penjual sayur sedang panen padi. Menurut mereka, turun ke sawah kali ini bukan pada musim penghujan. Mereka mencoba bertani saat musim lain, yang airnya dibantu dengan pompa mesin. Ketika panen, ternyata hujan dengan angin kencang tiba-tiba datang. Banyak batang padi, terutama yang jenis tinggi, roboh ke tanah. Dalam kondisi seperti ini, padi harus segera dipanen, karena kalau dibiarkan padi akan rusak karena terkena air dan tanah. Beberapa hari saja sekiranya dibiarkan, padi akan tumbuh seperti benih.

Ketika sebangku dengan tukang sayur, ia tidak turun ke sawah, walau seluruh kampung semuanya turun. Walau sedikit, semua warga ikut menanam padi. Lokasi sawah yang terbagi antara dekat ke ladang dan dekat kampung, maka air juga dibagi dua. Untuk sawah yang dekat dengan kampung dan sungai, diairi dengan air pompa. Sedangkan sawah yang di pinggir ladang, akan dibantu dengan air waduk, yang debit airnya sangat terbatas. Dengan dibagi dua, kebutuhan air hingga masa panen tiba, terpenuhi semuanya. Dengan kualitas yang mungkin sedikit menurun, gegap gempita petani memanen padi mereka di sawah.

Hal lain yang menarik, karena waktu panen berdekatan dengan momentum tertentu. Masalahnya adalah orang yang bekerja untuk memotong padi, tidak tersedia sepanjang waktu. Pada waktu, menjelang puasa atau hari raya, mereka juga butuh istirahat dan silaturrahim. Orang-orang yang biasanya bekerja memotong padi, untuk dua hari sebelum dan sesudah lebaran, mereka tidak menerima pesanan. Orang yang memiliki padi yang sudah sangat matang, gelisah dengan kondisi ini karena ditakutkan akan berimbas pada kualitas padi nantinya. Bahkan ada pemilik yang pada hari-hari yang pantang bekerja, justru sudah turun sendiri ke sawah untuk melakukan panen ini. Mereka berharap akan membantu mengurangi jumlah areal yang tidak tertangani.

Ketika suasana tertentu selesai, banyak pekerja datang dari berbagai kawasan sekitar. Tujuan mereka hanya satu, ingin mendapat upah dari kerjanya. Sementara pemilik sawah, terbantu karena pekerja dari kawasan mereka sudah tidak tersedia. Pokoknya orang yang datang berombongan langsung ada yang memesan untuk mengerjakan sawahnya.

Penjual sayur memiliki perhatian terhadap suasana ini. Selama panen, pemilik sawah sudah tidak perlu direpotkan terlalu banyak dengan penyediaan makanan. Tinggal pergi ke warung, beli beberapa bungkus nasi dengan teh dan kue seadanya, lalu bawa ke sawah untuk para pekerja. Makanan yang dibeli juga pas-pasan.

Berbeda dengan orang dulu, ketika mempersiapkan makanan, tidak hanya untuk para pekerja. Siapa pun yang kebetulan lewat akan ditawarkan merasakan makanannya. Orang dulu tidak takut bahwa dengan tawaran itu akan mengurangi jatah rezekinya. Mereka sadar betul bahwa rezekinya sudah ditumpuk masing-masing oleh Pencipta.

Semangat semacam ini tidak terbentuk begitu saja. Ada proses pemupuk dan konsisten dijaga. Orang yang mampu menjaga semangat itu, yang selalu berani menawarkan rezekinya kepada orang-orang di sekitarnya. Ia yakin ketika rezekinya dibagi, tidak akan mengurangi apa yang dia punya.

Leave a Comment