Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan belajar di Kawasan Ekosistem Leuser. Saya bertemu dan mewawancarai sejumlah tokoh adat dan pegiat lingkungan. Dengan pengalaman ini, dan melihat sejumlah tempat, maka susutnya luas hutan di Aceh (Serambi, 02/03/2020), adalah sesuatu yang bisa diverifikasi secara nyata.
Salah satu hal yang digelisahkan sejumlah orang yang saya temui, adalah struktur negara terkesan seperti tidak menjadi organ utama dalam lingkungan. Pertama, bagaimana aktivis lingkungan berbasis kampung bergerak menyelamatkan hutannya. Bahkan para penjaga hutan perempuan yang muncul dan berpatroli di sejumlah titik, memperlihatkan kelemahan organ-organ negara. Kedua, ruang-ruang yang diberikan negara secara formal, khususnya hutan adat, ternyata selalu tersendat untuk sampai pada tahapan yang operasional.
Bagi saya yang pernah melakukan kajian hutan adat, melihat kondisi ini sangat riskan. Ketika hukum formal tidak menjangkau pada tataran yang operasional, pertanyaan konkretnya adalah pada level apa lagi yang bisa diharapkan?
Sudah 6 tahun
Setelah enam tahun keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 (dibacakan 16 Mei 2013), sejumlah pertanyaan masih muncul. Terkait kebijakan hutan, mengapa pascaputusan tersebut, tidak ada kemajuan yang berarti bagi hutan adat? Dalam hal yang lebih makro, mengapa pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat (MHA) terkesan setengah hati? Lantas, sekiranya undang-undang (UU) tentang pengakuan dan perlindungan MHA disahkan tahun ini juga, akankah semua masalah posisi dan eksistensi MHA akan tuntas?
Saya ingin mencoba melihat sejumlah isu. Jika dimulai dari pertanyaan ketiga, maka hal penting dalam melihat satu UU adalah tidak melepaskan kaitannya dengan banyak UU lainnya. Kenyataan ini, secara sederhana, antara lain bisa ditelusuri melalui istilah yang dipakai dan itu beragam. Tahun 1999 (ada yang menyebut sejak 1993), sejumlah komponen memperkenalkan istilah masyarakat adat. Setelah amandemen, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945)-menggunakan istilah MHA (Pasal 18B ayat (2)) dan masyarakat tradisional (Pasal 28I ayat (3)). Sejumlah UU juga menggunakan istilah masyarakat lokal dan komunitas adat terpencil. Dalam sisi pemerintahan daerah, istilah yang dipakai adalah kesatuan masyarakat hukum adat (KMHA).
Pada dasarnya semua istilah tersebut sah digunakan. Namun tidak boleh dilupakan bahwa istilah terkait dimensi pengaturannya. Arizona (2014; 2019) menyebut sembilan dimensi dan kelembagaan terkait MHA. Terkait tata pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat, berada di bawah Kementerian Dalam Negeri (Pasal 18B ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan UU Pemda). Mengenai hak asasi manusia (Kementerian Hukum dan HAM; Pasal 28I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan UU HAM).
Untuk hal kebudayaan, diatur Pasal 32 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terkait pengelolaan hutan dan keberadaan MHA, ada pada Kementerian Kehutanan (UU Kehutanan). Soal pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). Akses terhadap pelayanan dasar pada Kementerian Sosial (UU Kesejahteraan Sosial), serta hak atas tanah ada pada Badan Pertanahan Nasional (UU Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria).
Dengan ragam dimensi dan kelembagaan yang mengaturnya, maka jelas ada banyak UU yang harus dilihat. Paling tidak dapat dibagi dalam empat kategori, yakni UU terkait sektor, UU terkait Pemerintahan Daerah, UU terkait Otonomi Khusus dan Daerah Istimewa, dan UU terkait sumber daya alam dan agraria. Dengan empat kategori ini, maka sekalipun lahirnya UU terkait pengakuan dan perlindungan MHA, selama tidak diikuti dengan harmonisasi UU terkait lainnya, berpotensi terjadi tarik-menarik, yang akhirnya jika tidak diurai dengan tuntas, akan menyebabkan masalah MHA tetap mengambang. Dan mimpi hutan adat semakin panjang.
Pengakuan bersyarat
Jika diurut dengan waktu, banyaknya dimensi di atas, titik tolak yang bisa dilihat adalah pengakuan bersyarat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Bunyi pasal tersebut, dapat dipilah ke dalam empat hal, yakni: (1) ada mengakui dan menghormati; (2) kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya; (3) sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; (4) yang diatur dalam undang-undang.
Hal yang disebut terakhir merupakan bahasa lain dari syarat adanya MHA. Syarat ini sudah diperjelas dengan Putusan MK 10/PUU-I/2003. Saya melihat risalah pembahasan amandemen UUD 1945, dari empat syarat tersebut, hanya syarat `sepanjang masih hidup’ yang didiskusikan dalam bahasan. Hal ini masuk dalam bidang pemerintahan daerah, mulai dibahas dalam rapat 8 Oktober 1999. Sedangkan menyangkut adat, mulai muncul sejak rapat 7 Desember 1999. Sebagai catatan penting, bahwa syarat keempat `diatur dalam undang-undang’ yang menggunakan `dalam’, memiliki makna tersendiri dalam teknik perundang-undangan. Ia dimaksudkan tidak diwajibkan diatur dalam satu UU khusus.
Di luar soal syarat, beberapa pengaturan yang kemudian diuji dan terkait dengan MHA. Pertama, Putusan MK 001-021-022/PUU-I/2003 dan Putusan MK 3/PUU-VIII/2010 terkait konsep `sebesar-besar kemakmuran rakyat’. Konsep ini menjadi landasan kebijakan termasuk yang terkait dengan keberadaan MHA. Kedua, Putusan MK 006/PUU-III/2005 menyangkut dasar kerugian konstitusional dalam kaitannya dengan pihak yang dapat mengajuan uji di MK soal kerugian dan/atau kewenangan sebagai Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi. Dalam UU ini menentukan bahwa MHA termasuk salah satu di dalamnya. Hal lain secara tegas disebut MHA sebagai subjek hukum. Ketiga, Putusan MK 35/PUU-X/2012 yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara.
Dengan sejumlah `pembaruan hukum’ yang terjadi, seyogianya pengakuan dan perlindungan MHA bukan sesuatu yang harus dimohonkan lagi oleh MHA. Ia seharusnya sudah bisa hadir dengan sendirinya, sebagai darah daging bangsa.
Kebijakan yang operatif
Bukankah semua hal itu menjadi sisa dari putusan MK? Perkembangan pascaputusan MK terkesan jalan di tempat. Dengan posisi hukum dan pembaruan yang terjadi, tarik-menarik otoritas dan kewenangan kentara terasa. Pertanyaan utama menyangkut hal ini adalah siapa yang menjadi penjaga gawangnya untuk menentukan siapa yang paling memiliki otoritas dan kewenangan.
Menentukan ini begitu sulit, tidak saja soal ragam dimensi dan kelembagaan, melainkan juga pengakuan bersyarat, yang pernah disebut Satjipto Rahardjo (2006) sangat bernuansa ekonomis ketimbang antropologis.
Ada ruang membuka kerumitan ini. Pertama, membangun orientasi politik hukum berdasarkan amanat Pembukaan UUD 1945. Politik hukum tidak hanya dipahami sebagai ruang merencanakan dan produksi UU, melainkan menentukan arah dan perkembangan sesuai Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Kedua, menimbang pemaknaan siklus, bahwa yang disebut MHA tidak selalu berurusan dengan masa lalu, melainkan dengan masa kini dan masa mendatang. Ketiga, melihat posisi subjek hukum tidak hanya secara individual sebagaimana konsep lahir dan tumbuh terminologi tersebut dalam negara modern. Apalagi Putusan MK juga sudah meneguhkan MHA sebagai subjek hukum.