Spritual

Apa yang kita lihat dengan mata, belum tentu mewakili kondisi sesungguhnya. Apa yang terlihat bisa saja semu dan bukan yang aslinya. Antara yang tampil dengan yang sesungguhnya, bisa jadi beda 180 derajat. Makanya saat melihat …

Apa yang kita lihat dengan mata, belum tentu mewakili kondisi sesungguhnya. Apa yang terlihat bisa saja semu dan bukan yang aslinya. Antara yang tampil dengan yang sesungguhnya, bisa jadi beda 180 derajat. Makanya saat melihat sesuatu yang wah, tidak langsung terlena dan tidak juga berarti memunculkan kecurigaan bagi orang lain.

Saya ingin menceritakan. Suatu kali, televisi sedang mengangkat sejumlah kasus yang ironi. Ada orang yang sudah lama mendirikan rumah yang dinamakan dengan padepokan spritual, tetapi dari sejumlah kesaksian korban dari rumah itu, di dalamnya sering terjadi pencabulan. Mereka menggunakan serbuk candu dalam kesehariannya. Lalu pimpinan spritual yang digadang-gadang sebagai orang yang memayungi, ditangkap ketika sedang menghisap serbuk candu. Entah bagaimana muncul istilah spritual untuk orang yang bertindak-tanduk begitu.

Jika dikaitkan dengan istilah padepokan, atau pedepokan, tempat demikian memang dimaksudkan sebagai persemadian atau pengasingan diri. Tempat pertapaan. Tapa itu terkait dengan upaya menahan hawa nafsu, tidak hanya makan dan minum, melainkan juga berahi. Tujuannya adalah pada usaha mencari ketenangan batin. Dalam kamus bahasa sendiri, istilah pedepokan juga bisa bermakna sanggar seni tari. Namun sepertinya, pedepokan yang dimaksud di sini dalam makna pertapaan di atas, atau semadi. Dalam hal ini, bermakna pemusatan pikiran dan perasaan, meditasi. Bersemadi, memusatkan segenap pikiran (dengan meniadakan segala hasrat jasmaniah.

Konsep keberadaan pedepokan, kenyataan kontras dengan apa yang tertampil dalam tayangan. Dalam pedepokan ini juga penuh dengan alat-alat musik untuk menghibur orang-orang yang datang. Mereka juga tidak tampak seperti maksud orang yang menenangkan diri –dalam makna bertapa. Konsep penenangan diri mungkin yang berubah maksud, berupa melupakan berbagai persoalan yang terjadi dengan menikmati berbagai hiburan yang tersedia di sana. Selain hiburan, berbagai suguhan juga menjadi hal tersendiri, terutama hal-hal yang terlarang baik dalam konteks hukum negara maupun hukum agama.

Ada hal lain yang sesungguhnya sederhana dan menarik. Dari cuplikan-cuplikan yang ada, tampak bahwa seseorang itu bisa menampilkan diri dengan berbagai wajah. Dalam satu hari, dengan bergonta-ganti pakaian, seseorang bisa menampilkan kesan yang berbagai macam. Seseorang yang ingin terlihat agamis di depan layar kaca, cukup dengan menggunakan pakaian yang mirip para wali. Menggunakan kain syal dari Timur Tengah, atau surban kebesaran dari foto-foto ulama. Lalu yang perempuan menutup tubuh sebentar, untuk memperlihatkan sesuatu yang beda. Mereka yang mengabadikan melalui video, akan menyebutnya dengan istilah sangat religius. Pada waktu yang lain, mereka yang tadinya memakai surban, untuk kepentingan yang lain bisa dikelilingi banyak perempuan, di bawah lampu warna-warni. Untuk menghibur, membutuhkan pakaian yang cocok untuk memberi hiburan.

Demikianlah yang terlihat, hingga akhirnya orang banyak sudah galau untuk membedakan yang asli dengan yang tiruan. Bukan hanya sebatas galau, pada akhirnya menyebabkan orang bisa tergonta-ganti dalam memahami dan mengaplikasikan. Mencampur-adukkan yang benar-benar baik dengan sesuatu yang hanya berkesan baik. Puncanya adalah pada bagaimana orang menampilkan diri dengan pakaian. Padahal yang sebenarnya itu bukan tampilan dari pakaian. Sesuatu yang baik itu selalu lahir dari lubuk hati, dari semayam jiwa, dan terpancar dalam perilaku sehari-hari.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment