Tanggal 23 Mei 2013, saya berhasil mendapat satu dokumen penting dari Bangi. Sebuah laporan penelitian tentang Aceh yang selama ini saya baca sepotong-sepotong. Dokumen ini tidak secara langsung terkait dengan penelitian saya. Sejumlah potongan dari temuan penelitian ini, saya butuhkan untuk memperkuat apa yang sedang saya teliti.
Proses pencarian data pendukung ini sangat berjenjang dan panjang. Untuk meyakinkan posisi pesisir Aceh yang penting dari berbagai sudut: politik, pertahanan dan keamanan, sosial budaya, dan maritim. Untuk mendapatkan data tersebut, saya mengunjungi sejumlah pustaka yang memiliki informasi tentang sejarah pesisir Aceh di Kuala Lumpur.
Beberapa hari saya mendapatkan pelayanan di pustaka Universiti Kebangsaan Malaysia. Sepertinya, mereka selalu buka. Pustaka ini, saat saya mengunjungi, sangat memberi kesan. Tersedia sejumlah tempat untuk beristirahat. Sejumlah sudut juga menyediakan tempat baca yang sangat leluasa. Bahkan pengunjung bisa menyandar pada bantal-bantal besar yang tersedia. Sangat berbeda dengan pustaka-pustaka yang ada di tempat kami.
Untuk sampai di dua tempat tersebut, saya mendapat bantuan tak terlihat dari sejumlah orang. Sebagai pertanggungjawaban proses dalam riset saya waktu itu, semua orang yang secara langsung atau tidak langsung memberikan bantuan, saya sebutkan namanya pada lembar ucapan terima kasih.
Dokumen yang saya dapat, tidak mudah diperoleh. Ada proses ijin yang berjenjang. Teman saya, Dr. Hamdani, menjadi jaminan ketika dokumen itu diperbanyak. Butuh sekitar dua jam untuk membuatnya utuh, layaknya dokumen asli dari peneliti. Di sekeliling kampus, tersedia lengkap dan banyak pilihan –walau untuk memburu dalam dua jam sebagaimana ijin dokumen, tidak semua tempat mau mengerjakan dengan baik. Saya menangkan kesan, tidak semua pekerjaan diterima, terutama yang tidak bisa dijamin akan selesai sebagaimana pesan para pelanggan.
Catatan saya, butuh bantuan banyak orang hanya untuk mendapat dokumen penting ini. Saya menyebut keadaan ini, antara lain dengan ada orang yang bergerak di balik layar. Akademisi dan peneliti, idealnya tahu keadaan ini. Tidak semua yang tampak di depan mata sebagai cermin hasil dari realitas. Bisa jadi ada banyak tangan yang membuat hasil dari realitas yang dikagumi. Capaian dalam ruang sosial, harus dilihat dari berbagai peran.
Akademisi tentu sangat paham dengan kondisi banyak tangan yang berperan dalam sebuah keberhasilan. Tidak boleh dilupakan. Berbeda dengan dalam habitus politik, keberhasilan akan menjadi kepunyaan orang tertentu yang berhasil menangkap momentum dengan baik. Orang-orang yang bisa mendapat momentum dengan tepat, akan memperolehnya, walau kadang disadari apa yang diperoleh merupakan usaha besar dan keras yang sudah dilakukan orang lain sebelumnya.
Masalahnya membiarkan orang-orang mendapat kemenangan hanya karena momentum yang tepat, ternyata dibiarkan begitu saja oleh para pengambil kebijakan akademis. Keberhasilan yang diperoleh untuk kepentingan kampus, begitu mudah melupakan peran dan tangan-tangan tak terlihat. Secara berantai, ada banyak peran yang seyogianya juga berkenan diucapkan terima kasih.
Saya mencoba belajar perbedaan antara akademisi dan politisi ini, yang akhir-akhir ternyata saya mendapat realitas yang hampir tidak ada bedanya. Akademisi pun saat berjumpa dengan kepentingan dan ingin memanfaatkan momentumnya, juga akan menjadi layaknya habitus politikus. Saya banyak mendapat realitas demikian, yang layaknya berjalan dan dibiarkan begitu rupa. Pada posisi ini, saya tidak yakin para akademisi tidak tahu diri. Mudah-mudahan mereka tidak membiarkannya terjebak dalam jangka waktu yang lama.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.
[es-te, Jumat, 16 September 2022]