Waktu

Pertanyaan yang seharusnya ada dalam diri kita, selalu berputar pada untuk apa kita hidup di dunia? Pertanyaan ini berkorelasi, dengan apa yang akan kita lakukan dalam rangka mencapai tujuan hidup kita itu? Pertanyaan ini sederhana, …

Pertanyaan yang seharusnya ada dalam diri kita, selalu berputar pada untuk apa kita hidup di dunia? Pertanyaan ini berkorelasi, dengan apa yang akan kita lakukan dalam rangka mencapai tujuan hidup kita itu? Pertanyaan ini sederhana, namun agak berat saat kita juga semakin berat meneguhkan tujuan hidup kita sendiri.

Tujuan hidup itu seyogianya sangat penting. Seseorang yang tidak memiliki tujuan hidup, orientasinya menjadi tidak jelas. Orientasi yang tidak jelas itu berbeda dengan orientasi yang bercabang dan berbias. Orientasi yang bercabang, pada dasarnya tetap memiliki orientasi, namun dalam proses pencapaiannya terganggu dengan berbagai hal.

Orientasi ini yang kemudian membantu meneguhkan apa yang menjadi tujuan hidup. Orang yang tidak memiliki tujuan, sama seperti orang yang datang ke terminal, mau naik bus, namun tidak tahu bus yang jurusan kemana yang akan dinaiki.

Begitulah tujuan hidup manusia. Sebenarnya dalam al-Quran sudah jelas disebutkan bahwa tujuan keberadaan jin dan manusia adalah untuk beribadat kepada Allah swt. Dalam hidup, tujuan beribadah menjadi hal utama yang harus dilakukan. Tujuan ini, tentu tidak sederhana. Juga sebenarnya bukan sesuatu yang sulit. Memang bukan perkara mudah, makanya tidak boleh dimudah-mudahkan. Juga bukan perkara sulit –walau bisa jadi berat bagi manusia untuk melakukannya. Melaksanakan ibadah sebagai implikasi dari keberadaan manusia.

Anehnya, kebanyakan manusia justru dalam hidupnya sebagian besar waktu dihabiskan untuk tidak pada tempatnya. Jika dihitung-hitung, sebagian besar waktu digunakan untuk berleha-leha. Bukan yang lain. Setidaknya, bila diukur dari durasi waktu 24 jam dalam sehari semalam, maka untuk beribadah hanya beberapa persen saja. Orang yang melaksanakan shalat hanya rata-rata dihabiskan dalam 15 menit saja per waktu. Jika dikalikan lima waktu, maka akan menghabiskan 75 menit. Selebihnya, dari 22 jam 45 menit yang sisa, dihabiskan untuk berbagai kepentingan. Sebagian memanfaatkan untuk memperdalam ilmunya, sebagian lagi untuk hal-hal lain. Sisanya, dan ini yang dilakukan banyak orang, adalah menghabiskan waktu tidak pada tempatnya.

Ada banyak cara masing-masing orang dalam membunuh waktu. Waktu yang tersedia, dicari cara agar bisa dihabiskan dengan berbagai cara. Waktu yang tersedia, dengan sengaja dan terencana, dihabiskan untuk hal-hal yang disadari sejak awal, hanya memuaskan kebutuhan duniawi semata –dan seperti memotong diri keterkaitan dengan dunia lain yang akan dihadapi oleh setiap manusia.

Sering sekali muncul pertanyaan mengenai mengapa sebenarnya manusia melakukan begitu rupa. Mereka sadar bahwa waktu harus dimanfaatkan secara optimal. Memang orientasi ukhrawi tidak semata-mata pada ibadah individual, melainkan juga ada juga dalam ibadah sosial. Sekiranya ibadah individual hanya terkait dengan masing-masing individu, maka yang dimaksud dengan ibadah sosial adalah ibadah yang akan diminta pertanggungjawabkan secara kolektif. Misalnya mengenai pertanggungjawaban mengapa ada orang miskin di sekitar kita. Ketika kita sedang berlebihan makan –bahkan berpoya-poya dengan [membuang] makanan, pada saat demikian, di sekitar kita, ternyata cukup banyak yang tidak bisa makan secara sempurna.

Dengan demikian, sesungguhnya ada ibadah yang awalnya individual, juga tidak bisa dilepaskan dari ibadah sosial. Kewajiban mengeluarkan sebagian harta untuk kepentingan lingkungan sekitar, menjadi salah satu contoh. Kewajiban tersebut pada dasarnya adalah sangat individu. Namun ketika hal tersebut dikaitkan dengan kesemestian memperhatikan lingkungan sekitar, maka dalam waktu yang sama ia menjadi ibadah sosial.

Begitulah kira-kira. Dari sekian waktu yang dilalui manusia, seyogianya memiliki waktu lebih untuk merenung mengenai apa yang sesungguhnya dilakukan dalam durasi waktu tertentu. Ketika waktu yang dihabiskan lebih dominan untuk kepentingan yang sia-sia, maka pertanyaannya akankah mampu kita pertanggungjawabkan suatu saat kelak.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment