Agenda

Kita sering tidak ingat saat dikejar banyak agenda. Istilah sekarang manusia yang supersibuk. Saat demikian, seolah semua hal yang kita lakukan tidak bisa lagi dengan tenang. Seolah semua harus diselesaikan dalam waktu yang terbatas. Padahal …

Kita sering tidak ingat saat dikejar banyak agenda. Istilah sekarang manusia yang supersibuk. Saat demikian, seolah semua hal yang kita lakukan tidak bisa lagi dengan tenang. Seolah semua harus diselesaikan dalam waktu yang terbatas. Padahal waktu yang tersedia sama saja.

Barangkali seperti saya, Anda juga pernah mendengar ada orang yang mengeluh tentang sudah tak cukup waktu ketika ia memiliki kegiatan yang dijalani. Bahkan yang lebih fatal, seolah-olah sudah tak cukup waktu yang berdurasi normal selama 24 jam itu dalam sehari semalam. Saya memiliki satu teman, yang berprofesi sebagai penulis, bahkan bisa menggunakan waktu 48 jam tiada henti ketika –menurutnya sedang lancar imajinasi—menulis. Dalam durasi waktu itu, ia berdiam dan menari-nari jemarinya di atas keyboard laptop dengan penuh semangat. Secara sengaja, ia bahkan menyediakan kopi khusus untuk membuat matanya tetap terjaga. Ia melakukan sesuatu yang menggembirakan, untuk menjaga semangatnya tetap bergelora ketika melakukan itu.

Tahukah apa yang terjadi ketika selesai dua hari? Ia mungkin bisa menghabiskan waktu empat hari untuk memuaskan tidurnya. Tentu, bukan tidur terus-menerus. Ketika waktu shalat ia akan bangun menunaikannya. Demikian juga ketika waktu makan, ia juga akan makan. Selebihnya, ia tidak melakukan aktivitas di luar, untuk menutupi waktu istirahat. Maksud saya fisiknya tidak keluar, sementara aktivitas dan keberadaannya selalu terasa dalam banyak ruang –dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini. Orang boleh sedang berada di dalam rumah, namun aktivitas apapun tetap bisa ditampilan yang terkait dengan profesi tertentu –seperti teman saya itu yang penulis.

Begitulah cara dia menuntaskan kerja, katanya ketika imajinasinya sedang mengalir. Ketika itu, katanya, semua seperti tidak bisa dihentikan. Semua mengalir begitu saja dan jika tidak disambut dengan baik, dan menyediakan waktu yang cukup, maka semua itu akan berlalu begitu saja. Ia menggunakan manajemen penampung air dalam suasana demikian. Ia ingin menampung sebanyak-banyaknya ketika semangatnya sedang bergelora, tidak peduli ada tumpah di sana-sini. Dengan menampung sebanyak mungkin, ia akan mencari waktu yang lain untuk menatanya kembali, menuang sedikit demi sedikit sesuai yang diinginkan. Sedangkan apabila tidak menampung, sama seperti air yang akan mengalir entah kemana dan tidak bisa diambil manfaatnya.

Begitulah ia mengeluh soal waktu yang 24 jam. Ada orang lain yang ketika mengurus kegiatan tertentu, juga mengeluh hal yang sama. Seseorang yang sedang membuat laporan kantornya, ia membutuhkan waktu menata dan menulis laporan lebih banyak. Ia merasa tenggat waktu yang diberikan selalu seperti tidak cukup. Waktu terasa begitu singkat dalam aktivitas yang sangat padat. Padahal bukan waktunya yang berjalan cepat, melainkan orang yang memanfaatkan waktu yang mengejar ketika tenggat sudah dekat. Banyak orang yang ketika di awal waktu bersenang-senang dan tidak melakukan apa-apa terhadap aktivitas yang harus dilakukannya. Sesuatu itu baru dilakukan ketika mau pada detik-detik akhir.

Kondisi itulah yang menurut saya memberi efek kepada masing-masing seolah putaran waktu sedang tidak normal. Padahal waktu 24 jam sama saja dengan 60 menit per jamnya. Sesuatu yang membutuhkan perhatian lebih, juga terasa pada singkatnya waktu. Kita tak sadar pada kondisi ketika membutuhkan konsentrasi penuh dalam menyelesaikan aktivitas yang ditugaskan kepada kita.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment