Tidak semua orang mau dan mampu dengan nilai-nilai yang dianggap tidak efektif dan efisien. Ingin berbuat sesuatu, mencapai target satu hal, haruslah dicapai dengan cara-cara yang cepat dan mudah. Semua masalah yang terkait dengan tali-kelindan jiwa manusia, dilupakan begitu saja.
Banyak hal dianggap sudah menghambat efektivitas dan efisiensi. Sekiranya bisa melakukan sesuatu dengan seorang atau beberapa orang saja, yang demikian dianggap lebih efisien ketimbang banyak orang yang datang, tetapi yang kerja orang-orang itu juga.
Dalam kasus demikian, kebersamaan sering dibenturkan dengan efektivitas dan efisiensi. Padahal soal hidup, tidak melulu soal efektif atau efisien. Banyak hal yang berdasar kebersamaan, justru mempermudah banyak hal lain dalam waktu yang berbeda. Barangkali untuk waktu tertentu, capaian tersebut tidak langsung terasa manfaatnya, akan tetapi untuk waktu yang lama, kebersamaan menjadi salah satu faktor penting dalam pencapaian kebahagiaan manusia.
Itulah yang saya ingat, ketika seorang senior saya, membuat status menarik. Ia ingin menulis tentang sesuatu yang hilang dari “kampung” di kampung. Menariknya, karena mungkin belum ada waktu untuk menuntaskan keinginannya itu, ia melempar ke publik. Katanya, tidak masalah bila idenya itu diambil oleh orang lain untuk menuliskannya. Masalah diambilnya ide itu, menarik bagi saya, tanpa melupakan inti hal yang ingin disampaikan yang bersangkutan.
Hal yang inti, sesuatu yang hilang dari “kampung” di kampung. Ia membedakan antara “kampung” dan kampung, tentu ada maksudnya. Apabila diijinkan untuk menebak-nebak, maka mungkin yang dimaksudkan adalah sesuatu yang “kampung” itu sebagai sesuatu “yang sangat berkehidupan”. Mulai bagaimana cara hidup, menjalani, dan bahkan berproses dengan hidup. Sesuatu yang “kampung”, sesuatu yang cara, dijalankan, dan proses dalam kehidupan, dekat dengan nilai-nilai yang ada di “kampung”. Banyak orang menduga, seolah “kampung” itu selalu bermakna adat, dan sejenisnya. Padahal adat hanya satu cuil hal yang ada di “kampung”. Di luar itu, sangat kompleks sekali.
Hal inilah mungkin yang dimaksudkan, yang mulai hilang di kampung. Kampung yang disebut terakhir barangkali cermin tempat tinggal, yang bisa dimana saja. Sesuatu yang seperti hidup terasing. Dalam kehidupan yang sangat kompleks, antara satu orang dengan orang lain, hidup seperti disekat-sekat, walau antara orang yang satu dengan orang lain, letaknya tidak berjauhan. Seringkali kita tidak tahu tentang apa yang terjadi di sekitar tempat tinggal. Ada orang yang meninggal atau melaksanakan hajatan, mungkin tidak kita ketahui. Banyak orang yang juga tidak mengetahui ada tetangganya yang kelaparan atau bahkan menjadi korban pembunuhan.
Sekali lagi, barangkali inilah yang dimaksudkan. Satu yang menarik lain tentang ide yang boleh diambil. Teringat akan orang pandai yang tawadhu’, yang menulis banyak buku, ketika setelah menulis berpuluh jilid, lalu ia merenung dan membuang karyanya ke sungai. Waktu itu ia berdoa, ya Allah, bila dengan buku ini membuatku menjadi tinggi hati, sombong, riya, dan berharap balasan dari manusia, maka musnahkan ya Allah. Akan tetapi sekiranya bisa membuang sifat demikian, ijinkan hamba membaginya untuk manusia yang lain.
Buku itu kemudian ditemukan di pinggir pantai, dan diambil oleh orang lain. Di lapiknya, sama sekali tidak ada nama penulisnya. Bisa dibandingkan dengan sekarang, mungkin jauh sekali. Orang melakukan plagiat luar biasa. Orang juga mengharap hak ekonomi, bahkan sering tidak peduli dengan hak moral, juga luar biasa tensinya.
Sesuatu yang ditakutkan, selalu berkaitan dengan hak ekonomi –tepatnya mungkin keuntungan finansial dari sebuah karya. Maka orang-orang sedikit saja berkarya, lantas mendaftarkan haknya di kantor terkait pemerintah.
Sikap tawadhu’ senior saya itu, dengan mengatakan tidak masalah idenya diambil oleh siapa saja. Ia tidak takut idenya dikomersilkan. Untuk membangun peradaban yang lebih kokoh, perlu banyak orang yang demikian.