Entah berapa banyak muncul pertanyaan seperti saya. Terutama bagi kita yang memiliki tugas dan profesi tertentu. Seberapa bahagia kita melaksanakan tugas dan profesi kita? Atau barangkali, kita bagian dari orang yang berpikir berbagai pekerjaan lain, ketika suatu pekerjaan sedang kita laksanakan?
Akhir-akhir ini, saya dapat banyak bocoran dari sejumlah teman. Dengan alasan pendapatan yang berkekurangan, selalu berpikir untuk mendapatkan pekerjaan lain. Masalahnya bukan tidak boleh seseorang untuk memperbaiki kuantitas pendapatan, namun pikiran demikian tidak boleh menganggu apa yang sedang kita kerjakan.
Berpikir pekerjaan lain, sedangkan kita sedang mengerjakan suatu pekerjaan, akan membuat apa yang kita lakukan asal-asal saja. Pada akhirnya apa yang kita kerjakan, tidak berangkat dari kondisi yang bahagia, sebagai kunci melaksanakan suatu pekerjaan yang dipercayakan untuk dilaksanakan secara sempurna.
Kebahagiaan ini sangat menentukan bagi siapapun yang melaksanakan pekerjaan. Sejumlah orang, saya bisa menyaksikan betapa mereka berbahagia, walau mungkin pendapatan tidak seperti yang kita bayangkan.
Secara kebetulan, di kesempatan yang sama sekali tidak terduga, saya bertemu dengan salah seorang guru saya. Setelah bertemu waktu itu, saya lalu diundang ke sekolahnya. Dengan mendapat kesempatan itu, kami bisa duduk lama. Ngobrol.
Saya tidak diundang ke rumah, karena letak rumahnya yang lumayan jauh dari sekolah. Sedangkan tempat saya lebih dekat ke sekolah ketimbang dengan rumahnya. Alasan itulah yang menyebabkan saya diundang ke sekolah saja.
Saya langsung menyanggupi, berkunjung ke sekolah. Posisi kantor guru tidak begitu jauh dari pintu masuk. Lalu kalau di kantor sekolah, meja duduk guru saya itu persis di dekat pintu. Ketika datang, seandainya saya tidak langsung masuk, saya bisa mendengar apa yang mereka bicarakan di dalam kantor.
Nah, ketika saya datang saat itu, kebetulan guru saya sedang membimbing satu siswanya. Dari bahasa yang digunakan, tampak dengan penuh sabar ia menuntun anak didiknya. Dengan intonasi suara yang teratur, kita bisa merasakan bagaimana ia dengan sabar –dengan bahasanya—dalam menghadapi anak didiknya itu.
Saya menangkap betapa bahagianya –dari bahasa yang digunakan— guru saya itu dalam membimbing siswa. Rasa bahagia ini tidak dipunyai oleh semua orang. Bila kita perluas kesan ini, terkesan bagi saya, betapa bahagia ia menjalani profesinya sebagai guru.
Saya harus sampaikan bahagia menjalani profesi, karena akhir-akhir ini, begitu banyak orang yang tidak bahagia menjalankan profesi, sehingga untuk masuk dinas saja, harus dikejar-kejar oleh Satuan Polisi Pamong Praja –atau apapun namanya. Untuk masuk kantor saja harus dipaksa, konon lagi yang lain.
Ketika ada perlu di kantor tertentu, pun, kadang-kadang kita berhadapan dengan orang-orang yang tampak tidak bahagia dengan tugasnya. Waktu kita tanya sesuatu, air mukanya tampak tidak enak, dan semacam dengannya. Yang lebih parah, seandainya ada menemukan orang yang sedang jam dinas, antre untuk dilayani semakin banyak, tetapi staf yang bersangkutan, main game di kamputernya –yang komputer itu bisa dilihat oleh orang yang sedang antre. Belum lagi ketika menanyakan informasi sesuatu untuk keperluan kita, dijawab dengan setengah membentak.
Semuanya adalah contoh bagaimana seseorang yang tidak bahagia dalam menjalankan profesi. Profesi hanya dijadikan sebatas untuk mendapatkan bayaran, lalu waktu dibunuh sedemikian rupa dengan berbagai cara. Tidak lebih dari itu.
Perilaku guru saya, merupakan satu di antara sekian banyak orang yang bahagia dengan profesi. Orang-orang seperti itu, melakukan sesuatu, bukan saja kewajibannya, tetapi menggunakan hati. Tidak lagi sebatas fisik, sehingga ketika kita mendapatkan sesuatu darinya, yang kita dapatkan adalah ekspresi hati yang membahagiakan.
Semoga pengalaman itu bisa memacu saya dan orang-orang yang berkenan mau menyontoh, agar lebih berbahagia dalam menjalankan profesi. Walau untuk itu, saya belum tentu mampu.