Ada hal yang harus diperhatikan. Orang yang berilmu tinggi, tetap harus mempunyai sopan santun. Seyogianya seseorang yang sudah berpendidikan tinggi, bergelar akademis yang panjang, selaras dengan kepribadian baiknya. Orang-orang yang memiliki gelar tidak boleh bertindak bahkan yang mencederai sopan santunnya terhadap orang di sekelilingnya.
Orang-orang yang berada dalam situasi tidak santun, ada yang menyadari, dan ada yang tidak. Orang yang menyadari juga terbagi dua, ada yang mau menerima masukan orang lain dan ada yang tidak peduli. Orang-orang yang mau mendengar orang lain, lebih berpeluang untuk meluruskan hidupnya.
Peran orang-orang sekitar sangat penting dalam meluruskan hidup seseorang. Orang yang memahami bagaimana kondisi orang terdekatnya, memiliki cara untuk bagaimana memperbaikinya.
Itulah yang saya pikirkan, ketika suatu kali saya mendengar ceramah. Saya mempunyai suatu kesan ketika mendengar suatu ceramah di kampus. Ceramah ini sebenarnya bukan sesuatu yang sudah terperkirakan. Saya ke kampus sebenarnya untuk tujuan akademik. Selama ini, alhamdulillah badan kemakmuran masjid kampus, menghadirkan ceramah selesai shalat dhuhur. Tidak terperkirakan bahwa isi ceramah tentang akhlak. Selama ini memang sudah ada jadwal ceramah tetap, yang lingkup materinya sudah diketahui publik kampus.
Hal yang saya dapatkan mengenai apa yang dialami oleh Imam Syafei. Imam ini adalah orang yang sejak belia sudah menguasai berbagai hal yang jarang kebanyakan orang menguasainya. Misalnya sudah menghafal al-Quran 30 juz. Di samping itu sudah menghafal ribuan hadis.
Seperti yang lain, Imam juga memiliki seorang guru, yang ketika selesai mempelajari ilmu tertentu, sang guru kemudian memberikan tanda tertentu yang akan dibawa pulang ke orang tuanya. Dengan gembira, Imam membawa pulang tanda yang diberikan gurunya yang memberitahukan Imam sudah belajar pada tingkat tertentu. Ketika sampai di rumah, Imam langsung masuk dengan segera ke dalam rumah sambil tergopoh-gopoh.
Atas dasar ini, lalu ibunya membuat sebuat surat yang akan diberikan kepada guru sang Imam. Lalu surat tersebut diberikan kepada Imam untuk diantar kepada gurunya tersebut. Sesampai di sana, guru membawa permintaan penting sang ibu, yang kira-kira berbunyi bahwa sebelum sang guru memberikan tanda tertentu bagi Imam yang sudah menggapai ilmu tingkat tertentu, yang harus dikuatkan terlebih dahulu adalah akhlaq. Jadi sederhananya, permintaan sang ibu adalah ajari anaknya tentang akhlak.
Ibu dari Imam Syafei sangat merasa tidak nyaman dengan akhlak anaknya yang masuk dengan tergopoh-gopoh. Atas perilaku demikian, sang ibu mengirim surat secara khusus kepada guru Imam Syafei agar menguatkan akhlaknya itu.
Bayangkan dengan kita. Apa yang kita lakukan dengan akhlak anak-anak kita, anak-anak bangsa. Kita terlalu banyak membiarkan akhlak buruk pada anak-anak. Anak dibesarkan dalam lingkungan yang dibiarkan kurang berakhlak. Untuk orang tua sendiri kadangkala tidak berakhlak, apalagi untuk orang lain.
Ilmu yang diperoleh dengan akhlak yang tinggi, lalu melahirkan karya yang tinggi pula. Kualitas dan kadaritas proses akan mempengaruhi hasil. Dengan demikian, orang-orang yang mengonsumsi karya juga semakin berkualitas. Dari pribadi yang berkualitas, lalu lahir karya yang cemerlang. Ini semua saling terkait. Saya sebagai salah seorang yang percaya bahwa karya adalah cermin dari orang yang melahirkannya. Apapun yang dihasilkan tidak lepas dari pribadi orangnya.
Orang-orang besar sebagaimana karya-karya besar yang kemudian dibaca oleh banyak orang, adalah cermin dari penghasil karya. Orang demikian sangat sadar, bahwa karya adalah kekayaan, kekayaan adalah amanah Pencipta. Makanya ia harus diposisikan sebagai amanah. Sebagai amanah, maka sepenuh itu akan disampaikan kepada semakin banyak orang.