Hukum Aceh yang saya maksud bukan dalam makna hukum lokal. Debat krusial akan memungkinkan terjadi ketika kata lokal muncul dan mencerminkan seolah-olah hukum itu lahir di Aceh. Saya lebih ingin menunjuk pada hukum yang mengatur tentang berbagai hal yang akan menjadi dasar berhukum bagi semua orang dan pihak yang ada di Aceh. Hukum yang ada sangat ditentukan oleh bagaimana cara hukum tersebut dijalankan dengan baik.
Khusus bagi Aceh, kelahiran Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633), memiliki arti yang sangat penting. Undang-undang ini merupakan sejarah baru dalam ketatanegaraan Indonesia. Dimana Pemerintah Republik Indonesia secara konstitusional telah menempatkan dan menghargai karakteristik masyarakat Aceh yang khas dengan memberikan tempat tersendiri atas keberanekaragaman tatanan kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dikatakan babak baru dalam perjalanan Pemerintah Indonesia untuk menangani persoalan yang terjadi di Aceh.
Untuk memahami pentingnya posisi undang-undang tersebut, dapat dilihat dalam bagian umum dari penjelasan umum Undang-Undang Pemerintahan Aceh, setidak-tidaknya terdapat lima pokok pikiran dasar yang sangat substansial hingga lahirnya undang-undang tersebut. Kelima hal dimaksud adalah: Pertama, perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.
Kedua, ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat.
Ketiga, aspirasi yang dinamis masyarakat Aceh bukan saja dalam kehidupan adat, budaya, sosial, dan politik mengadopsi keistimewaan Aceh, melainkan juga memberikan jaminan kepastian hukum dalam segala urusan karena dasar kehidupan masyarakat Aceh yang religius telah membentuk sikap, daya juang yang tinggi, dan budaya Islam yang kuat.
Keempat, solusi politik bagi penyelesaian persoalan Aceh berupa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dimana dalam pelaksanaannya undang-undang tersebut juga belum cukup memadai dalam menampung aspirasi dan kepentingan pembangunan ekonomi dan keadilan politik.
Kelima, bencana alam, gempa bumi, dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh. Begitu pula telah tumbuh kesadaran yang kuat dari Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka untuk menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, serta bermartabat yang permanen dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan lima pokok pikiran tersebut dapat dipahami bahwa Aceh mendapat posisi yang khas di dalam ketatanegaraan ini. Provinsi Aceh sudah memiliki kewenangan yang lebih besar, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7, yakni urusan pemerintahan dalam semua sektor publik, kecuali urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.
Pengaturan tersebut yang saya maksud sebagai hukum Aceh, yang tidak bisa selamanya bisa diselaraskan dengan istilah hukum lokal. Istilah yang saya sebut terakhir ini sering dipertukarkan saat digunakan, padahal penyebutan yang tidak tepat, akan menghasilkan simpulan yang berbeda. Saya menyadari tidak mudah memahami posisi hukum Aceh ini.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.
[es-te, Ahad, 18 September 2022]