Kolom sebelumnya, saya sudah sedikit menyentuh soal kampus ilmu dan ilmu kampus. Posisi kampus yang berorientasi pada pengembangan ilmu. Hal ini yang selalu menjadi alat ukur dalam semua urusan. Atas konsistensi ini, maka orang luar kampus berharap bisa menjadi bagian dari ilmu kampus. Istilah lain yang terdengar dari orang luar kampus adalah pada moralitas keilmuan yang menjadikan kampus diidola-idolakan. Namun dalam era kontemporer, apakah posisi ini masih terjaga. Jangan-jangan apa yang disebut sebagai moralitas kampus itu, sesungguhnya sudah tidak ada bedanya dengan moralitas bukan kampus?
Moralitas yang saya maksud, secara konsep, merujuk pada Kamus Bahasa Indonesia, sebagai “sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun. Etiket itu yang dimaksudkan sebagai “tata cara (adat sopan santun, dan sebagainya) dalam masyarakat beradab dalam memelihara hubungan baik antara sesama manusia.” Saya bisa memahami bagaimana idealnya kampus itu diposisikan, ketika moralitas yang dimaksud selalu dikaitkan dengan adab (beradab; peradaban). Sayangnya dalam era kekinian, hal ini penting untuk diuji. Berbagai hal yang di luar nalar, nyatanya juga semakin ditemui di kampus –dengan berbagai latar belakang dan alasan di dalamnya.
Pada posisi demikian, maka jika orang kampus sensitif terhadap pandang orang luar kampus tersebut, menurut saya sudah seharusnya orang-orang kampus menjaga diri agar menjadi patron dan ruang untuk melihat wajah moral yang baik dan teladan. Orang kampus tentu tidak akan bermain-main lagi dengan berbagai hal yang merusak moral itu. Kasus korupsi yang semakin menjalar ke kampus. Plagiat dan order karya ilmiah sudah semakin nyata. Bahkan sejumlah kejahatan sudah mulai terjadi.
Alasan inilah, semua orang kampus sudah harus mengingat dengan keras apa yang disebut sebagai kampus ilmu dan ilmu kampus. Kampus itu seharusnya menjadi ruang bagi pengembangan ilmu, sebagaimana patron bagi kampus ilmu. Konsistensinya akan berhubungan dengan keinginan banyak pihak di luarnya yang ingin mendapatkan ilmu kampus agar bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi kampus sama sekali bukan ruang untuk mempersempit ilmu pengetahuan.
Dengan corak di atas, yang saya uraikan, maka tidak heran orang lain di luar kampus akan menyebut semua itu sebagai ilmunya kampus yang harus diteladani. Seiring dengan berbagai perubahan, posisi ini juga mulai dipertanyakan. Saya ingin mengajak kita membayangkan, apakah kehidupan kampus lebih baik dari orang-orang yang di luar kampus? Syaratnya tentu pada moralitas di atas. Orang-orang kampus harus memegang moralitas ini secara konsisten. Jangan biarkan moralitas ini runtuh dan pada saatnya nanti, orang-orang luar kampus akan mencerca orang-orang kampus yang juga bisa tidak bermoral.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.