Perguruan tinggi yang berusaha mencapai dirinya dalam kelompok Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH), pada dasarnya sedang menyederhanakan konsep pasar. Dan sampai pada titik ini, ilmu yang menjadi domain penting di perguruan tinggi sudah dianggap sebagai alat yang ada dalam ruang pasar itu. Selain PTN-BH, kategori –atau bahkan disebut saja dengan strata kampus di Indonesia sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU) dan PTN Satuan Kerja (PTN-Satker). Kampus awal yang ditetapkan pemerintah dalam kategori paling tinggi ini adalah Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Indonesia.
Saya kira kehendak penting dari kampus dalam kategori ini adalah pada pengelolaan anggaran dan keuangan. Tidak ada yang salah dengan pilihan dan kehendak ini. Asal jangan sampai menyederhanakan seolah-olah mengelola kampus itu hanya bertumpu pada anggaran dan keuangan. Hal-hal lain yang lebih krusial, seperti kualitas substansi akademis, jangan sampai dilupakan hanya dengan berhasil mengelola kualitas administrasi.
Posisi perguruan tinggi berbadan hukum, sudah bertransformasi sedemikian rupa dari era sebelumnya. Misalnya pada tahun 2009, pemerintah menyediakan Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang secara khusus dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Tapi BHP ini harus dieliminir dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 126/PUU-VII/2009, yang menegaskan bahwa undang-undang ini tidak selaras dengan UUD 1945, disebabkan urusan di dalamnya dilepaskan dari negara. Inkonstitusional. Putusan ini dibacakan tanggal 31 Maret 2010.
Pemerintah menggantikan konsep BHP dengan Badan Hukum Milik Negara (BHMN), dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Peraturan ini meneruskan konsep yang pernah ada dalam konteks pendidikan berbadan hukum. Gagasan ini kemudian digenapkan dengan lahir Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, skemanya pun berubah, seperti yang dikenal sekarang, PTN-BH.
Suatu perguruan tinggi tentu tidak serta merta dapat masuk dalam jajaran status ini. Persyaratannya ketat. Ada ruang bagi perguruan tinggi dalam menentukan tarif biaya pendidikan yang diperkirakan sesuai dengan keadaan ekonomi mahasiswa dan keluarganya. Dalam hal aset, ada yang dipisahkan sebagai milik kampus, selain ada aset negara yang sudah ada. Selain dimudahkan dalam mengurus sumber daya manusia, kampus juga diberikan kewenangan dalam membuka atau menutup program studi tertentu. Kewenangan ini yang tidak dimiliki kampus dengan status BLU atau Satker.
Dalam konteks keberadaan program studi inilah kerap hanya diukur dengan sangat matematis –mohon maaf istilah ini hanya untuk menunjukkan alat ukur yang kerap sangat material. Ilmu dengan gagah digolongkan dan diukur dengan skema pasar. Padahal dalam dunia ilmu, cara pandang dengan kacamata kuda, harus dikritik disebabkan keberadaan ilmu yang harus dimaknai dalam ruang dan konteks yang luas. Barangkali sudah sampai pada kelemahan kita, yang sesederhana itu ilmu hanya dimaknai.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.