Berpendapat atas dasar keteguhan pada kebenaran dan keadilan, sungguh sangat berat. Ungkapan yang diucapkan di mulut bisa saja berbeda dengan apa yang dilakukan. Orang-orang yang berbicara di mulut sangat manis, tidak jarang memperlihatkan sikap yang sebaliknya.
Dalam ilmu dibedakan antara tampilan di depan dan di belakang. Tidak semua yang kita lihat di depan layar, sebagai cermin dari apa yang terjadi di belakang layar. Seseorang saat berada di depan orang bisa memiliki sikap berbeda saat ia berada di tempatnya. Sikap yang luar biasa di depan publik tidak selalu ia menjadi sikap aslinya saat sedang berada tidak di ruang publik.
Bukankah sejumlah kasus muncul dari orang yang tidak kita duga mereka berperilaku demikian? Orang yang menjadi panutan publik, ternyata ada yang justru melakukan sebaliknya.
Berkata yang sesungguhnya adalah satu hal, namun mengupayakan yang sesungguhnya itu dalam alam nyata, juga satu hal. Keduanya harus diupayakan menyatu agar antara perkataan dan perbuatan selaras adanya.
Penyatuan yang lain adalah keteguhan kita untuk berkata dengan sebenarnya terhadap siapapun dan dalam hal apapun. Jangan sampai rasa terhadap sesuatu akan berpengaruh pendapat kita terhadap sesuatu itu.
Saya kira kita pernah mendengar ungkapan teman atau orang dekat kita yang menyebutkan bahwa seberapa besar suka kita terdapat seseorang, akan berpengaruh bagaimana cara pandang kita terhadapnya. Demikian juga sebaliknya, rasa tidak suka akan membuat cara pandang terhadap seseorang juga berubah.
Saya mendapat pertanyaan sederhana dari seseorang. Mengenai seberapa besar pengaruh rasa atau perasaan kita terhadap apa yang ingin kita sampaikan. Orang itu, kira-kira membandingkan, bahwa kalau kita melihat sesuatu dari seseorang dengan negatif, apakah sama dengan melihat seseorang dari seseorang dengan positif? Pertanyaan ini belum saya jawab untuk yang bersangkutan. Di luar kepentingan untuk menjawab pertanyaan dia, saya ingin meraba-raba melalui ruang ini.
Hal pertama yang saya pikir adalah mungkin seseorang bisa netral dalam memberi pendapat untuk orang yang dilihatnya secara positif atau negatif? Jangan-jangan tidak bisa. Untuk orang yang dari awal sudah kita taruh rasa kagum dan takjub, akan berbeda pendapat kita dibandingkan dengan orang yang dari awal sudah tanam rasa tidak suka. Entah karena alasan apa, ketika kita memiliki rasa tidak suka, pendapat apapun mengenai seseorang berpotensi tidak lurus. Demikian juga sebaliknya.
Mari kita ingat salah satu yang serius dalam sepak bola. Hajatan Piala Dunia tahun 1986, dalam pertandingan Inggris dan Argentina, dimenangkan tim Argentina. Kemenangan ini tercipta dari proses yang tidak biasa. Diego Armando Maradona yang menjadi bintang dalam dekade itu, menciptakan gol dengan tangan kiri. Kemajuan teknologi yang lambat waktu itu, menyebabkan gol dengan tangan tidak langsung ketahuan saat itu juga. Berbeda dengan sekarang, yang dengan teknologi tiga dimensi, fakta bisa diungkap dalam sekejap. Walau demikian, keputusan wasit juga dihargai, karena setiap gol, ketika sudah disahkan, ia akan tetap sebagai gol.
Apa yang terjadi? Di tengah rasa kagum yang luar biasa, dosa Maradona dalam dunia sepak bola malah dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa. Publik bola bahkan ada yang menyebut secara berlebihan: “tangan tuhan”. Sebutan ini tidak mungkin lahir dari seseorang atau sekelompok orang yang memandang secara negatif. Kenyataannya beberapa pemain yang entah sengaja atau tidak juga menyentuh bola, dihujat luar biasa.
Dunia politik tidak kalah memperkenalkan kondisi ini. Mereka yang bekerja untuk tim politik tertentu, akan menjilat apapun yang disuguhkan. Sekotor apapun tetap tidak akan berubah. Untuk tim lawan, akan dilakukan sebaliknya.
Dalam kehidupan yang lebih luas, dunia kritis dikritik tidak bisa bersembunyi dari kepentingan itu. Bahkan dalam dunia ilmu pengetahuan, kritis itu sendiri ditentukan oleh adanya keberpihakan.
Jika demikian, bukankah sekritis apapun orang tetap memiliki sisi tersembunyi? Bukankah ada orang yang kritis, namun bisa jadi antikritik. Ketika menganalisis sesuatu yang di luar diri kita, barangkali bisa sangat kritis. Dan giliran, ketika kita yang dikritik oleh orang lain, rasa marah kita yang luar biasa akan muncul begitu saja. Saya tidak tahu persis berapa banyak orang yang bermental seperti ini.
Makanya bagi saya tidaklah mengherankan, jika ada seorang pensyarah yang ditunggangi pendapat orang kritis. Orang yang banyak berbicara, ingin mendapat tempat, lalu menjadikan mulut orang lain untuk menyampaikan maksudnya. Orang pandai bisa mendapat banyak momentum untuk berkilah. Menyampaikan sesuatu yang bisa berimplikasi kepada diri, membuat orang lain mengangguk lalu bisa mengklaim bahwa sebenarnya apa yang ingin kita sampaikan hanya melanjutkan dari orang lain. Ini tidak jujur.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.