Punya siapakah orang pandai itu? Punya orang yang punya kuasakah? Atau milik semua orang? Jangan-jangan orang pandai hanya mengabdi untuk mereka yang secara politik dan ekonomi lebih berdaya? Tidak heran, orang-orang pandai sering berubah pendapatnya.
Sebagian orang berpendapat bahwa pendapat selalu bisa dikaitkan dengan pendapatan –sesuatu yang banyak dicari dan era modern sudah menjadi alat ukur seseorang itu sudah pada posisi berhasil atau tidak. Menurut mereka yang berpendapat demikian, selalu ada bisa dilihat korelasi antara pendapat yang diberikan dengan besarnya kekayaan.
Saya tidak memaksa siapapun untuk setuju atau tidak dengan pendapat demikian. Berkorelasi atau tidak antara pendapat dan pendapatan, menurut saya seorang pandai harus kembali kepada kebenaran dan kepentingan umat yang lebih besar. Orang pandai harus berani mempertaruhkan segalanya untuk berbicara dan teguh pada keadilan.
Saya teringat, saat-saat belajar menjadi aktivis dulu, seorang guru saya yang lama belajar sejarah di Belanda, menohok saya begitu rupa. Saya sering terjebak berpikir bahwa orang pandai yang berhasil itu adalah mereka yang setiap saat ada pendapatnya di semua tempat. Tetapi guru saya mengingatkan, bahwa alat ukur sebenarnya adalah berpihak kepada siapa. Katanya, berhentilah menjadi orang pandai jika tidak bisa adil pada semua orang.
Saya lalu membandingkan istilah orang pandai dengan intelektual. Dari guru saya itu juga diingatkan, bahwa gelar itu bukan cermin dari intelektual. Intelektual sangat ditentukan sejauhmana seseorang itu bisa bermanfaat bagi umat. Orang-orang yang tidak memberi manfaat, memiliki gelar berlapis sekalipun, tidak penting dan sia-sia.
Kata-kata ini yang sering saya ingat. Apalagi saya bukan manusia yang sangat bermanfaat bagi orang lain, maka mengingat hal-hal yang demikian, mungkin akan memberi kekuatan untuk tidak melakukan sebaliknya. Jika pun tidak bisa berbuat sesuatu yang baik, lantas tidak memilih jalan-jalan yang merugikan umat karena kepandaian kita.
Apa yang pernah diingatkan guru saya itu, kemudian saya baca dari sebuah buku penting. Saya merasa beruntung, dari beasiswa kuliah memungkinkan membeli banyak buku. Saat mendapat beasiswa pascasarjana saat kuliah. Salah satu buku yang berhasil saya beli dari menyisihkan sisa itu adalah buku yang ingin saya ceritakan ini.
Penerbit Republika menerjemahkan dan menerbitkan buku Imam Ghazali dalam sejumlah jilid. Saya sudah membeli semuanya. Suatu kali, saya membaca kembali buku Ihya ‘Ulumuddin itu.
Seorang ulama besar yang menghasilkan karya agung ini, adalah al Ghazali, yang hidup pada abad ke-12. Antara tahun 1058 hingga 1111 (450-505 H). Ia membedakan ulama itu pada dua kategori. Ada yang disebutnya sebagai ulama dunia, dan ada ulama akhirat.
Ulama dunia, menurutnya adalah ulama yang menggunakan ilmunya untuk mendapatkan kepuasan dan mencari kedudukan dunia. Sedangkan ulama akhirat, mereka yang selalu konsekuen dengan apa yang dikatakan, mengutamakan ilmu akhirat, sederhana dan zuhud, menjauhkan diri dari penguasa, tak tergesa-gesa memberi fatwa, memperhatikan ilmu batin dan mengawasi gerak-gerik jiwa, mempertinggi keyakinan, sedih dan tunduk, sangat berhati-hati pada hal baru.
Selain ulama dunia dan akhirat, masih ada satu lagi yang diungkapkan al Ghazali, yakni ulama umat. Ulama kategori ini, adalah orang yang diberi ilmu oleh Allah dan meneruskannya kepada orang banyak. Orang tidak akan berhenti mempergunakan ilmu untuk kepentingan sendiri, karena menurut salah satu hadis riwayat At-Tabrani, kondisi tersebut membuat orang menjadi rakus dan tamak.
Ada pihak yang merasa pikiran al Ghazali menghambat perkembangan umat untuk maju. Dengan ajaran al Ghazali dianggap justru membuat umat tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi perkembangan dunia. Dalam pandangan modern, agama dianggap harus menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada. Perkembangan ini dipandang berbeda dengan apa yang diungkapkan al Ghazali.
Terserah bagaimana kita memandang apa yang diungkapkan al Ghazali. Namun bagi saya menarik, terkait dengan bagaimana seharusnya ilmu itu diteruskan untuk umat. Jika dianalog bahwa ulama itu sebagai orang pandai dan cendikiawan, maka mereka adalah penerus ilmu bagi orang banyak. Orang pandai tidak boleh pelit mengeluarkan ilmu, apalagi untuk mengeluarkan ilmu harus menggunakan penghitung angka. Ketika semua dijadikan angka, tidak beda dengan maksud yang disebutkan sebagai rakus dan tamak.
Ketika menggunakan penghitung, kita juga harus menilik pusat ilmu. Banyak orang pandai yang mereproduksi ilmunya tidak peduli dengan angka. Bahkan ada orang pandai yang setelah berkarya berjilid-jilid lalu melemparnya ke sungai dan meminta kepada Allah bahwa apabila tujuannya berkarya tidak atas dasar ridha, maka hancurkanlah. Banyak penulis yang bahkan tidak pernah menyebut namanya. Menurut mereka, ilmu itu tidak menggunakan hak kepemilikan.
Berbeda dengan perkembangan beberapa bagian dunia, di mana orang-orang pandai sibuk menghitung-hitung hasil dari karyanya. Dengan berkarya tidak membuat seseorang semakin dekat dengan umatnya, melainkan semakin membuat jarak dengan membuat harga yang bahkan tidak bisa dijangkau oleh orang banyak. Semakin mahal ilmu diperoleh, semakin berjarak ilmu dengan orang banyak, maka posisi orang pandai demikian, akan semakin jauh dari orang pandai miliknya umat.
Apakah kita termasuk orang yang menghitung berapa pemasukan dari karya yang sudah kita tulis? Lalu dengan bekal itu pula kita hitung berapa pemasukan yang bisa didapat karena mengeluarkannya sebagai pendapat?
Tidak penting apa yang kita dapat, namun hal yang ingin saya selalu ingat, bahwa semua yang kita punya, pada waktunya akan kita pertanggungjawabkan. Ilmu yang kita punya yang diklaim sebagai orang pandai atau cendikiawan, pada akhirnya akan dipertanyakan kepada siapa dengan ilmu itu kita berpihak?
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.