Kritik dalam Negara Hukum

Dalam negara hukum, sebagaimana kebebasan berpendapat –dan semacamnya untuk menjadi bagian dari proses menjaga kekuasaan, maka kritik idealnya jangan terlalu dianggap berlebihan. Tapi sepanjang era kuasa, isu kritik dan fitnah, nyatanya selalu menjadi diskursus menarik. …

Dalam negara hukum, sebagaimana kebebasan berpendapat –dan semacamnya untuk menjadi bagian dari proses menjaga kekuasaan, maka kritik idealnya jangan terlalu dianggap berlebihan. Tapi sepanjang era kuasa, isu kritik dan fitnah, nyatanya selalu menjadi diskursus menarik. Isu awalnya ketika dalam Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) kembali mengakomodir sejumlah pasal yang oleh para ahli kerap dianggap pasal karet –posisinya karena secara subjektif memungkinkan digunakan untuk kepentingan yang bertolak-belakang. Pasal-pasal tertentu yang berpotensi digunakan untuk kepentingan subjektif penguasa atas nama hukum.

Sejumlah pasal dalam KUHP diatur mengenai kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden maupun wakil presiden. Terkait dengan hal ini, diatur dalam Pasal 218, Pasal 219, Pasal 220, dan Pasal 221. Terkait dengan konteks kehormatan atau harkat dan martabat tersebut, dalam satu pasal saja bisa diatur secara berbeda konteks.

Dalam Pasal 218, misalnya, dalam ayat (1) disebutkan “setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”. Namun dalam ayat (2), ditegaskan dengan konteks yang bisa ditafsirkan berbeda, “tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri”.

Pola pengaturan semacam menjadi diskursus teoritis tentang mengapa pasal-pasal sebelumnya dicabut melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi. Misalnya saja Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang mencabut sejumlah pasal penghinaan dalam KUHP, yakni Pasal 134 jo Pasal 136 KUHP. Pada tahun 2007, Mahkamah Konstitusi mencabut Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP setelah dilakukan judicial review.

Dalam Pasal 154 disebutkan, “Barang siapa di muka umum menyatakan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Sedangkan Pasal 155 ditentukan: (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencaharian dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjadi tetap karena melakukan kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencaharian tersebut.

Hal yang menarik sesungguhnya pada ada dua konteks dalam memperlakukan norma tersebut, sehingga menimbulkan pertanyaan, hal kongkret apa yang bisa terukur dijadikan alasan sesuatu yang dilakukan dapat digolongkan sebagai bentuk atau bukan bentuk dari “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden”.

Saya kira negara-negara beradab di dunia sudah semakin terbuka untuk menyediakan alat ukur yang tegas dan kongkret tentang suatu keadaan. Hal ini dilakukan supaya tidak menjadi jalan masuk atau dijadikan “bahan mainan” terhadap orang lain atas dasar suka atau tidak (like and dislike). Kondisi yang lebih fatal jika nanti akan diperlakukan secara berbeda antara kawan dan lawan politik secara berbeda.

Saya kira kondisi tersebut tidak boleh terjadi di negara yang secara formal dalam konstitusinya menegaskan bahwa negara ini adalah negara hukum. Dengan penegasan ini, maka kritik terhadap orang yang berkuasa, pada dasarnya menjadi sesuatu yang biasa saja. Berbeda dengan masa lalu, ketika kritik terhadap raja, atau terhadap siapa pun yang sedang berkuasa, selalu diupayakan untuk dibatasi dengan berbagai wujudnya, karena alasan kekuasaan raja sendiri tidak dibatasi.

Leave a Comment