Kurban

Ada satu pepatah Aceh yang tidak banyak diketahui, menyebutkan, “bloe siploh peubloe sikurueng, lam-lam ruweueng cok laba”. Pepatah ini ingin menyampaikan bahwa tidak semua hal bisa dikalkulasi dengan untung. Orang-orang yang menjual sesuatu, pada saatnya …

Ada satu pepatah Aceh yang tidak banyak diketahui, menyebutkan, “bloe siploh peubloe sikurueng, lam-lam ruweueng cok laba”. Pepatah ini ingin menyampaikan bahwa tidak semua hal bisa dikalkulasi dengan untung. Orang-orang yang menjual sesuatu, pada saatnya akan mendapatkan kesempatan untuk berbuat baik tidak dengan menjual sesuatu itu.

Kesempatan berbuat baik tidak hanya dimiliki oleh para penjual. Orang-orang lain memiliki kesempatan yang sama. Namun mereka yang beraktivitas sebagai penjual, memiliki kesempatan yang lebih besar. Alasan inilah yang mengindikasikan adanya keberpihakan ruang lebih besar terhadap mereka yang berprofesi itu.

Ada tipe orang berdagang dahulu yang dipadukan dengan kegiatan dakwah. Berdagang hanya sarana untuk melakukan dakwah kepada publik yang lebih luas. Berdagang memiliki ruang berinteraksi lebih lebar. Di samping itu, dengan konsep mencari dan memberi untung, memungkinkan penjual bisa mengatur sedemikian rupa proses yang dilakukannya.

Atas dasar itulah, untung tidak selalu hanya dilihat dari sisi, pun pada barang tertentu saja. Untuk dapat dilihat dalam berbagai sisi. Memberi dan menerima, merupakan konsep umumnya. Inilah yang dapat kita pahami, misalnya dalam konteks ibadah yang lebih sakral. Qurban. Selalu harus dipahami dua sisi dari ibadah qurban. Di satu sisi, ada kesadaran orang yang berkelebihan untuk menyumbang sedikit hartanya kepada mereka yang tidak mampu. Orang yang berekonomi pas-pasan, memiliki kesempatan untuk menikmati makanan yang oleh sebagian yang lain dianggap bukan kelasnya. Apalagi kalau membuka rumus tertentu, mengenai indikator mereka yang miskin, rata-rata ditentukan oleh ketidakmampuan mereka memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, hingga rumah yang layak. Ada yang orang yang bisa makan tiga kali sehari, namun dengan kualitas makanan yang mungkin tidak layak. Memang semua orang mungkin punya rumah, namun yang dipunyai oleh sebagian, adalah rumah yang tidak bisa kita bedakan antara dinding dan pintunya. Sama-sama terbuka menganga.

Di sisi lain, karena ini ibadah, seseorang yang menyumbang tidak boleh congkak. Orang yang melaksanakan qurban sengaja diberikan melalui sebuah “organisasi”. Secara implisit, penyebaran qurban diharapkan hanya akan diketahui oleh mereka yang mengelola, bukan oleh mereka yang memberikan. Sehingga dalam hal ini, orang-orang yang diberi juga tidak merasa harus rendah diri. Demikian juga sebaliknya, yang memberi seolah merasa hidup seperti miliknya semuanya.

Ada makna tersirat yang tidak boleh lupa. Bahwa beribadah qurban selalu menuntut kita untuk lebih memperdalam rasa tawadhu’ dan menghilangkan sikap ego dan semacamnya. Dengan berqurban, akan muncul kesadaran bahwa manusia tidak boleh saling mengorbankan satu sama lain. Tidak boleh ada manusia yang kuat merasa bisa mengorbankan yang lemah. Demikian juga manusia yang tidak berdaya, tidak boleh terus-menerus hidup dalam ketidakberdayaannya.

Begitulah seyogianya hidup. Ada yang kurang mampu dan ada yang lebih mampu, pada dasarnya adalah sebuah siklus, yang bisa jadi akan dirasakan secara bergantian. Orang yang kebetulan saat ini sedang berada di atas, harus sadar bahwa posisinya tidak tentu abadi, bisa besok atau lusa berganti posisi dengan orang lain. Dengan mengingat hal ini, semua orang seyogianya memperlakukan posisi dan hartanya untuk hal-hal yang membawa kebaikan bagi semuanya.

Orang-orang yang merasa kurang mampu juga tidak boleh berputus asa. Karena posisi bisa berganti, orang-orang demikian ada saatnya berada di tempat yang sebaliknya. Sekiranya mengingat bahwa semuanya sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, maka tidak ada sesuatu yang patut digelisahkan.

Dari orang biasa hingga orang kaya, dari orang pribadi hingga perusahaan dengan beriklan, memiliki kesempatan yang sama untuk melakukannya. Mudah-mudahan semua kita bisa memiliki kesempatan, dan melakukannya dengan bersih nurani dan bukan dari hasil manipulasi dari sana dan sini.

Dengan harapan itu, maka dari tahun ke tahun, jumlah orang yang melakukan qurban meningkat, seyogianya berjalan seiring dengan pembangunan mentalitas yang juga makin meningkat. Sekiranya yang berlaku sebaliknya, maka bersiap-siaplah kita mencoba menanyakan diri ada yang salahkah dengan semangat berqurban kita?

Begitulah seyogianya semangat jual beli yang kita lakukan. Mengambil untung selalu seimbang, makanya diingatkan profesi ini memiliki ruang hidup bersih lebih besar, dibandingkan yang lain.

Leave a Comment