Perkembangan mazhab, tidak terlepas dari perkembangan era. Apapun yang hadir sebagai pikir, merupakan proses dari perkembangan era yang di dalamnya terkait juga dengan berbagai kondisi di dalamnya.
Demikian juga dengan posisi law as it is diungkapkan oleh Jeremy Bentham, untuk menampilkan bagaimana gambaran pada eranya. Sebagian sarjana melihat posisi law as it is sebagai konteks hukum sebagaimana adanya. Ia lalu diversuskan dengan apa yang disebut dengan hukum sebagaimana mestinya. Law as ought to be. Donny Danardono membedakan ungkapan Bentham tersebut: law as it is (hukum sebagaimana dikenal oleh pancaindra) dari law as ought to be (hukum yang diidealkan, hukum kodrat) (Danardono, 2007).
Jeremy Bentham dan John Austin, menjadi para pemikir dalam mazhab positivisme hukum, dengan varian utilitarianisme. John Austin (1790-1859) biasanya disebut sebagai “bapak ilmu hukum Inggris”, tetapi ternyata kemudian bahwa sebetulnya Jeremy Bentham (1748-1832) lebih berhak untuk menyandang titel tersebut (Dias, 1976). Bentham adalah pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifikasikan dan untuk merombak hukum Inggris yang baginya merupakan sesuatu yang kacau. Tetapi Bentham lebih sering dimasukkan ke dalam Aliran Utilitarianisme, bersama-sama dengan John Stuart Mill (1806-1873) dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Sedangkan Bentham adalah seorang pejuang pembaharuan hukum yang gigih disebabkan oleh karena ia melihat kekacauan di sekelilingnya. Untuk dapat melakukan pembaharuan, Bentham dan Austin berpendapat bahwa harus ada kejelasan yang menyeluruh terlebih dahulu mengenai hukum sebagaimana adanya. Positivisme Bentham dan Austin dilandasi oleh penolakannya terhadap naturalisme dan kecintaan mereka terhadap ketertiban dan ketepatan (Dias, 1976; Rahardjo, 2006).
Dalam aliran utilitarianisme, konsep hukum dikaitkan dengan upaya mewujudkan kebahagiaan manusia. Menurut mazhab ini, tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest number). Pada hakikatnya hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar-besarnya kesenangan atau kebahagiaan bagi jumlah orang yang terbanyak (Warassih, 2014).
Utilitarianisme menitikberatkan pada kebahagiaan individu per individu. Artinya semua individu harus dibahagiakan. Hal ini disadari sendiri oleh Bentham, penggagas aliran ini, sebagai sesuatu yang yang mustahil. Untuk itu ia mengatakan, hukum sudah dapat dikategorikan baik apabila mampu memberikan kebahagiaan kepada bagian terbesar dari masyarakat (Shidarta, 2006). Mazhab tersebut lahir sebagai penolakan terhadap mazhab hukum alam, yang menuduh mazhab tersebut terlalu idealistis, dan tidak memiliki dasar dan merupakan hasil penalaran yang palsu. Aliran ini sendiri dominan dalam abad ke-19, disebabkan oleh dunia profesi yang membutuhkan dukungan dari pikiran posivistis-analitis yang membantu untuk mengolah bahan hukum guna mengambil keputusan (Dimyati, 2005).
Dengan berinduk kepada konsep filsafat positivisme, mazhab positivisme hukum kemudian merumuskan sejumlah premis dan postulat mengenai hukum. Dari hasil pengindukan tersebut lahir sejumlah pandangan dasar mazhab ini, yakni (Laudjeng & Simarmata, 2000): pertama, suatu tata hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, bukan juga bersumber dari jiwa bangsa, dan juga bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang.
Kedua, hukum harus semata-mata dipandang dalam bentuk formalnya. Dengan demikian ia harus dipisahkan dari bentuk materialnya.
Ketiga, isi hukum (material) diakui ada, tetapi bukan menjadi bahan ilmu hukum karena dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum.