Hukum yang dibicarakan dalam berbagai konsep dan konteks, selalu tidak bisa dilepaskan dari proses yang dilalui pada setiap zamannya. Misalnya Herbert Lionel Adolphus Hart (HLA. Hart), seorang filsuf yang antara lain menekuni filsafat hukum. Ia lahir di Britania Raya, 18 Juli 1907 dan meninggal di Oxford pada 19 Desember 1992. Ia memang menyebut bahwa dalam melihat hukum tidak mungkin setiap bisa menerima definisi yang dilakukan para ahli hukum. Namun ia menekankan bahwa hukum itu sangat tergantung dari paksaan (Hart, 1994; Hart, 1958).
Hart adalah seorang pengikut positivisme hukum,. Pencirian yang dirumuskan terhadap mazhab ini, adalah: Pertama, dari segi asal-usul hukum hanyalah perintah dari penguasa (law is a command of the lawgivers). Di luar itu bukan merupakan hukum. Bahkan oleh penganut paham legisme, hukum diidentikkan dengan undang-undang. Kedua, tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum dan moral. Hukum harus dipisahkan dari moral. Hukum hanya mengurusi hal yang berlaku ada (dan sains), sedangkan apa yang seharusnya bukan urusan hukum, melainkan urusan moral dan etika. Ketiga, analisa tentang konsepsi-konsepsi hukum harus dibedakan dari penyelidikan sejarah dan sosiologis. Keempat, sistem hukum harus merupakan sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup yan diperoleh dari alat-alat logika, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek sosial, politik, dan moral (Laudjeng & Simarmata, 2000; Hart, 2013).
Sebagian sarjana hukum meyakini bahwa perkembangan gerakan pemisahan hukum dari anasir-anasir moral, yang bermuasal dari Kelsen, merupakan sesuatu yang bisa dipahami. Sebagian sarjana pula menegaskan posisinya dalam bingkai pemurnian hukum, secara teoritis terjelaskan melalui teori hukum murni sebagai teori hukum positif. Ia merupakan teori tentang hukum positif umum, bukan tentang tatanan hukum khusus. Ia merupakan teori hukum umum, bukan penafsiran tentang norma hukum nasional atau internasional tertentu; namun ia menyajikan teori penfsiran. Sebagai sebuah teori, ia terutama dimaksudkan untuk mengetahui dan menjelaskan tujuannya. Teori ini berupaya menjawab pertanyaan apa itu hukum dan bagaimana ia ada, bukan bagaimana ia semestinya ada. Ia merupakan ilmu hukum (yurisprudensi); bukan politik hukum. Ia disebut teori hukum “murni” karena ia hanya menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan objek penjelasannya dari segala hal yang tidak bersangkut-paut dengan hukum. Yang menjadi tujuannya adalah membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur asing (Kelsen, 2007).
Hans Kelsen menjadi tokoh penting dari hukum murni. Kelsen (1881-1973) adalah pemimpin mazhab Wina (Vienna School) yang dikenal dengan teori hukum murni (pure theory of law, reine rechtslehre). Dalam konteks yang lebih luas, domain ini masuk dalam positivisme hukum. Sebagai satu perkembangan dalam hukum, mazhab ini pun sangat dipengaruhi oleh perkembangan filsafat ilmu. Pandangan Kelsen dengan teori tersebut, berinduk pada neo-Kantianisme. Sementara ada varian lain positivisme (analitik) hukum, yang dipikirkan oleh John Austin berinduk pada positivisme logikal. Pandangan positivisme hukum dari HLA Hart berkaitan dengan ajaran rasionalisme kritis dari Karl Popper. Dan ajaran Popper ini pula yang mengilhami Hans Albert untuk mengembangkan ilmu hukum empiris (Laudjeng & Simarmata, 2000).
Menurut Kelsen, tujuan teorinya tidak berbeda daripada sains lain (as of any science). Ini berarti bahwa ia telah “afkijken” kepada keadaan atau peta sains waktu itu atau yang disebutkan Satjipto Rahardjo sebagai “the art of science” (Rahardjo, 2006). Kelsen mencoba untuk mengangkat ilmu hukum agar bisa setara dengan positivisme ilmu-ilmu tentang alam pada waktu itu. Sekalipun menggunakan analytical positivism, tetapi ia menolak ilmu hukum disamakan dengan ilmu-ilmu tentang alam.”
(Foto: Mongabay.co.id)